SASTRA sudah mencoba menjadi sales, sopir pribadi, dealer motor, beternak kelinci... sampai berdagang majalah dan tukang cukur, tak ada yang kujalani lebih dari seminggu. Aku gagal total. Kebutuhan makin mendesak, modal pinjaman dari bank tidak kembali...”
Rasyid menyambung dengan murung,“ bukan kehendakku menjalani pekerjaan seperti ini. Tapi bagaimana lagi, tiap hari orang serumah harus makan. Seberapa jumlah pensiunan kalau dibanding kebutuhan yang tidak ada habisnya? Tiga adikku juga harus tetap sekolah.
Bapak pun mesti kontrol seminggu sekali. Juga, aku harus menyicil semua utang kepada saudara-saudara bapak, yang dulu dipinjam untuk membiayai kuliahku.”
Kemudian dia menambahkan dengan sedih.“ Mungkin sudah garis tanganku seperti ini. Salahku juga. Dulu dengan nilaiku yang di atas rata-rata, sering aku tidak menghargai guruku sendiri. Tidak jarang aku melecehkan cara mengajar mereka yang lamban. Berapa banyak guru yang kubuat malu di depan teman-teman setelah kucecar pertanyaan? Mungkin mereka sakit hati, tidak ridha kepadaku, sehingga ilmuku tidak manfaat sama sekali!”
Ah, Rasyid ku... *****
Aku tahu kemana arah percakapan bapak dan emak selama dua hari terakhir ini. Akan ada seseorang yang melamarku. Seorang sepupu jauh, tinggal di Yogyakarta, bekerja di Dinas Pariwisata. Aku beberapa kali bertemu dengannya, saat ada hajatan yang melibatkan keluarga besar kami. Bayu, pemuda yang bersih, murah senyum dan mudah gugup.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua hari yang lalu, Rasyid juga menyampaikan niatnya dalam bentuk pertanyaan.
“ Tiga bulan lagi aku akan ikut anak pamanku ke Kalimantan, ke pabrik pengolahan sawit, disana paling tidak aku bisa menangani mesin. Bapakku mengharap ada wanita yang akan mendampingiku kesana, sebagai istriku, apa kau bersedia?”
“ Dan tentu saja, selama tiga bulan ini, aku tetap akan menarik becak dulu.” Bapak dan emak pun sudah tahu hal itu.“ Kamu sudah besar nduk, sudah bisa memilih. Bapak dan emak cuma bisa memberikan saran, seterusnya terserah kamu. Kalau kamu mantep dengan yang sini, bapak akan ngomong baik-baik sama yang di Jogja sana.”
Sebetulnya, aku tidak suka dihadapkan pada pilihan. Apalagi, pilihan yang menyangkut masa depanku.
Rasyid adalah cinta pertamaku. Seandainya dia sekarang guru SMP, atau wartawan koran lokal, atau pegawai PLN, tanpa ragu aku akan terima lamarannya. Tapi dia.... Aku memang tidak mengharap calon suamiku bertabur kekayaan, tapi paling tidak, aku ingin bersuamikan orang yang mapan, yang cukup namun tidak berlebihan, yang sederhana tapi tidak kekurangan. Ini bukan materialistis, ini adalah kesadaran yang wajar. Siapa yang, di zaman perdagangan bebas ini, rela makan sesuap sehari atas nama cinta?
Dan satu lagi, aku adalah sarjana komunikasi. Rasyid juga lulusan perguruan tinggi, tapi... apa yang akan dikatakan temantemanku kalau tahu suamiku adalah penarik becak? Dia memang akan meninggalkan becak tiga bulan lagi, tapi apakah menjamin di Kalimantan dia akan sukses?
“ Aku masih mencintaimu,” kata Rasyid saat menjumpaiku kemarin lusa,“ aku menyesal memutusmu hanya karena masalah sepele.” Sejujurnya, aku juga masih mencintainya.“ Bayu memang cuma lulusan SMA, tapi dia sudah kerja di pariwisata, kang,” samar-samar kudengar suara bibiku di telepon, dua hari yang lalu.
Ah, terkadang pilihan hidup memang tidak sesuai dengan pilihan hati.
*****
Lamaranku berlangsung dengan lancar sekitar dua bulan yang lalu. Keluarga dari Yogya serta bapak dan emak telah sepakat tentang hari perkawinan kami. Dan disinilah aku, di malam yang penuh kesakralan. Bayu dituntun penghulu mengucapkan ijab dan kabul. Aku telah resmi menjadi istrinya.
Februari 2016 | mediaBPP | 45