SASTRA
Hanya Tukang Becak
Oleh: Kurnia Indasah
“ Kiri kiri!” Kondektur berdiri menjuntai di pintu bis seraya melambai-lambaikan tangan.“ Yo, pasar... pasar!” Beberapa penumpang turun, termasuk aku. Membaurkan diri dengan pengunjung pasar yang menyemut. Berjalan berdesakan. Sesekali bahuku menyentuh pundak orang yang dibarengi teriakan“ aduh!” dan ucapan“ maaf, tidak sengaja” dari mulutku.
Hari ini siang sedang terik-teriknya. Matahari terpancang tegak lurus di atas cakrawala. Seluruh tubuhku berpeluh kegerahan. Jilbab hitamku serasa lengket dengan kulit kepala.
Pasar Lengkong tak banyak berubah sejak kutinggalkan berburu ilmu ke Bandung lebih dari empat tahun yang lalu, dan hanya kukunjungi setahun sekali.
Kucari jalan yang tidak terlalu ramai. Rumah yang kurindukan masih berjarak tiga kilo lagi. Sebenarnya jarak tiga ribu meter itu bukan apa-apa bagiku, yang sudah terbiasa berjalan jauh berkat tempaan di Pramuka. Tapi dengan kelelahan yang menggayuti setelah sebelas jam di atas kereta, empat puluh menit di atas bis dan seperempat jam terjebak di kerumunan pasar, sepertinya jalan kaki bukan ide bagus. Langkahku tersuruk-suruk mendukung ransel di punggung.
Satu dua ojek melewatiku, membawa penumpang. Di pinggir jalan beberapa mulut liar bersuit-suit, berteriak macam-macam. Aku tak acuh, berjalan terus, dan kelelahan terus. Di dekat kelokan kuhentikan sebuah becak yang pengemudinya mengenakan topi kumal.“ Indah ya?” Aku urung menaiki becaknya.“ Maaf, apanya yang indah?”“ Kamu Indah kan?” Aku benar-benar menarik kembali kakiku ke tanah.
“ Iya, bapak kenal saya?”
“ Aku Rasyid... Ahmad Rasyid,” laki-laki itu membuka topi kumalnya.“ Ingat?” Aku terlonjak. Bagaimana bisa? Rasyid adalah teman sekelasku selama tiga tahun di SMP dulu. Dia jagonya komputer, biang keroknya diskusi, dan ahlinya matematika. Dulu dia sekretaris umum OSIS, seksi giat ambalan, dan tak terhitung lagi banyaknya pengalaman organisasinya. Argumennya sukar ditandingi, di samping wawasannya yang seluas pasifik. Banyak guru yang dibuat malu karena tak bisa menjawab pertanyaannya.
Rasyid adalah orang yang pernah mengisi lembar-lembar hatiku lebih dari delapan tahun yang lalu. Kami putus karena aku terlalu cengeng menghadapi idealismenya. Dia bilang malu kalau sekolah hanya untuk ijazah. Saat itu aku mati-matian menentangnya. Kami putus, aku masuk pesantren, dan dia ke STM.
Rasyid, satu windu tak bertemu, mengapa jadi begini kau sekarang?“ Pulang?” tanyanya. Aku mengangguk. Naik ke becaknya yang sandarannya bergambar wanita cantik dalam iklan sabun.“ Berapa anakmu sekarang?” tanyaku.“ Aku belum menikah,” jawabnya. Rasyid tetap menarik, entah dia memakai jas OSIS atau mengayuh becak. Dia tetap Rasyid. Kurasakan kembali getaran-getaran yang dulu, dulu sekali, pernah menghangatkan dadaku seperti sweater yang membungkus di musim dingin.
“ Jadi kau dapat beasiswa?” komentarnya setelah kuceritakan riwayatku,“ aku memang sekolah, tapi sayangnya tidak gratis. Bisa kuliah juga, tapi dengan biaya.”
“ Tahun kemarin program D3 ku selesai, jurusan Teknik Elektronika. IPK-ku cukup tinggi. Berpuluh surat lamaran kukirimkan pada perusahaan di sekitar Jatim, dan tak ada satupun yang ditanggapi. Mungkin karena riwayat organisasiku yang tergolong kiri. Aku
44 | mediaBPP | Februari 2016