Media BPP Februari 2016 Vol 15 No 1 | Page 44

SASTRA

Hanya Tukang Becak

Oleh : Kurnia Indasah
“ Kiri kiri !” Kondektur berdiri menjuntai di pintu bis seraya melambai-lambaikan tangan . “ Yo , pasar ... pasar !” Beberapa penumpang turun , termasuk aku . Membaurkan diri dengan pengunjung pasar yang menyemut . Berjalan berdesakan . Sesekali bahuku menyentuh pundak orang yang dibarengi teriakan “ aduh !” dan ucapan “ maaf , tidak sengaja ” dari mulutku .
Hari ini siang sedang terik-teriknya . Matahari terpancang tegak lurus di atas cakrawala . Seluruh tubuhku berpeluh kegerahan . Jilbab hitamku serasa lengket dengan kulit kepala .
Pasar Lengkong tak banyak berubah sejak kutinggalkan berburu ilmu ke Bandung lebih dari empat tahun yang lalu , dan hanya kukunjungi setahun sekali .
Kucari jalan yang tidak terlalu ramai . Rumah yang kurindukan masih berjarak tiga kilo lagi . Sebenarnya jarak tiga ribu meter itu bukan apa-apa bagiku , yang sudah terbiasa berjalan jauh berkat tempaan di Pramuka . Tapi dengan kelelahan yang menggayuti setelah sebelas jam di atas kereta , empat puluh menit di atas bis dan seperempat jam terjebak di kerumunan pasar , sepertinya jalan kaki bukan ide bagus . Langkahku tersuruk-suruk mendukung ransel di punggung .
Satu dua ojek melewatiku , membawa penumpang . Di pinggir jalan beberapa mulut liar bersuit-suit , berteriak macam-macam . Aku tak acuh , berjalan terus , dan kelelahan terus . Di dekat kelokan kuhentikan sebuah becak yang pengemudinya mengenakan topi kumal . “ Indah ya ?” Aku urung menaiki becaknya . “ Maaf , apanya yang indah ?” “ Kamu Indah kan ?” Aku benar-benar menarik kembali kakiku ke tanah .
“ Iya , bapak kenal saya ?”
“ Aku Rasyid ... Ahmad Rasyid ,” laki-laki itu membuka topi kumalnya . “ Ingat ?” Aku terlonjak . Bagaimana bisa ? Rasyid adalah teman sekelasku selama tiga tahun di SMP dulu . Dia jagonya komputer , biang keroknya diskusi , dan ahlinya matematika . Dulu dia sekretaris umum OSIS , seksi giat ambalan , dan tak terhitung lagi banyaknya pengalaman organisasinya . Argumennya sukar ditandingi , di samping wawasannya yang seluas pasifik . Banyak guru yang dibuat malu karena tak bisa menjawab pertanyaannya .
Rasyid adalah orang yang pernah mengisi lembar-lembar hatiku lebih dari delapan tahun yang lalu . Kami putus karena aku terlalu cengeng menghadapi idealismenya . Dia bilang malu kalau sekolah hanya untuk ijazah . Saat itu aku mati-matian menentangnya . Kami putus , aku masuk pesantren , dan dia ke STM .
Rasyid , satu windu tak bertemu , mengapa jadi begini kau sekarang ? “ Pulang ?” tanyanya . Aku mengangguk . Naik ke becaknya yang sandarannya bergambar wanita cantik dalam iklan sabun . “ Berapa anakmu sekarang ?” tanyaku . “ Aku belum menikah ,” jawabnya . Rasyid tetap menarik , entah dia memakai jas OSIS atau mengayuh becak . Dia tetap Rasyid . Kurasakan kembali getaran-getaran yang dulu , dulu sekali , pernah menghangatkan dadaku seperti sweater yang membungkus di musim dingin .
“ Jadi kau dapat beasiswa ?” komentarnya setelah kuceritakan riwayatku , “ aku memang sekolah , tapi sayangnya tidak gratis . Bisa kuliah juga , tapi dengan biaya .”
“ Tahun kemarin program D3 ku selesai , jurusan Teknik Elektronika . IPK-ku cukup tinggi . Berpuluh surat lamaran kukirimkan pada perusahaan di sekitar Jatim , dan tak ada satupun yang ditanggapi . Mungkin karena riwayat organisasiku yang tergolong kiri . Aku
44 | mediaBPP | Februari 2016