Media BPP Februari 2016 Vol 15 No 1 | Page 10

“ Publikasi ilmiah peneliti Indonesia pun dalam skala internasional masih dinilai rendah. Dari 60 ribu dosen dan peneliti, Indonesia hanya mampu menghasilkan 4 ribu karya ilmiah yang dimuat dalam jurnal internasional per tahun, sangat jauh jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang menghasilkan 60 s. d 70 ribu pertahun.”
Kasubid Fasilitasi Jurnal Ilmiah Kemenristekdikti- Suwitno
10 | mediaBPP | Februari 2016 aktivitas ilmiah ini. Hal senada juga disampaikan oleh Kasubag Data Statistik Bagian Informasi dan Komunikasi Publik- Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Marcellino.“ Terkait honor itu bukan domain kami, tapi dari DJA( Direktorat Jenderal Anggaran) atau Setjen, karena itu kan ada PMK nya setiap tahun, bisa diubah jika Badan Litbang di Kementerian mengusulkan menggunakan surat resmi dari Eselon I saja, mungkin seperti itu. Tapi asal alasannya harus jelas,” jelas Marcellino.
Selain masalah manajemen, masalah kepenulisan juga menjadi dasar masalah lembaga penerbitan jurnal. Seringkali lembaga penerbit jurnal menghadapi krisis penulis seperti yang terjadi pada Kementerian Agama dan BPP Kemendagri.“ Kita pernah krisis naskah, dan terlambat terbit, bahkan kami pernah meminta orang LIPI untuk menulisnya. Saya orang yang selalu rewel jika jurnal melewati deadline penerbitan. Biasanya, saya menyiasatinya dengan mengoptimalkan internal litbang Kemenag sendiri, mereka tinggal dipoles sedikit bisa menyiasati ke-krisisan jurnal itu,” imbuh Mas’ ud.
Sekalipun jurnal yang sudah terpercaya seperti jurnal di Kemenag, tetap saja krisis naskah pun bisa terjadi.“ Ada juga jurnal yang sudah bagus tetapi tidak ada yang tertarik. Mungkin ada penulis yang dikecewakan karena tulisannya tidak dimuat. Tetapi intinya, lembaga penerbitan jurnal tersebut harus promosi besar-besaran dan melakukan kerja sama pertukaran naskah dalam satu bidang ilmu,” saran Wahid.
Untuk mengatasi hal tersebut, Wahid menyarankan agar pimpinan lembaga harus rajin menjalin kerja sama, terutama dengan reviewer( mitra bestari), karena krediblitas reviewer akan menentukan keberlanjutan jurnal. Hal itu bisa dilakukan dengan promosi atau call for paper. Ada undangan konferensi yang menjaring naskah sebanyak-banyaknya.“ Umumkan yang lulus seleksi, dan mengadakan kegiatan ilmiah yang terkait dengan penulisan artikel yang masuk ke jurnal sehingga bisa berlanjut terus,” jelas Wahid.
Selain masalah krisis naskah, menurut Suwitno, Kasubid Fasilitasi Jurnal Ilmiah Kemenristekdikti, permasalahan yang sering terjadi di perguruan tinggi adalah kualitas penulisan.“ Dari sisi kualitas harus ditingkatkan, yang membedakan jurnal dan majalah adalah ada proses penilaian. Sehingga tidak semua tulisan yang masuk bisa dijurnalkan. Kalau dari Kemenristekdikti sendiri mengutamakan kebaharuan. Kalau tidak ada kajian yang baru buat apa meneliti,” ungkapnya.
Kepada Tim Media BPP, Suwitno mengatakan, publikasi ilmiah peneliti Indonesia pun dalam skala internasional masih dinilai rendah. Dari 60 ribu dosen dan peneliti, Indonesia hanya mampu menghasilkan 4 ribu karya ilmiah yang dimuat dalam jurnal internasional per tahun, sangat jauh jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang menghasilkan 60 s. d 70 ribu pertahun.
“ Saat ini Indonesia sendiri memiliki 3.200 perguruan tinggi yang 98 di antaranya adalah perguruan tinggi negeri, semoga di masa yang akan datang ada peningkatan dari jumlah peneliti,” kata Suwitno.
E-Journal, siapkah?
Bukan hal baru, ketika dua lembaga( LIPI dan Kemenristekdikti) menetapkan bahwa per 1 April 2016 semua jurnal harus dikelola secara elektronik. Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 Tahun 2014 ten-