“ Publikasi ilmiah peneliti Indonesia pun dalam skala internasional masih dinilai rendah . Dari 60 ribu dosen dan peneliti , Indonesia hanya mampu menghasilkan 4 ribu karya ilmiah yang dimuat dalam jurnal internasional per tahun , sangat jauh jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang menghasilkan 60 s . d 70 ribu pertahun .”
Kasubid Fasilitasi Jurnal Ilmiah Kemenristekdikti - Suwitno
10 | mediaBPP | Februari 2016 aktivitas ilmiah ini . Hal senada juga disampaikan oleh Kasubag Data Statistik Bagian Informasi dan Komunikasi Publik - Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan , Marcellino . “ Terkait honor itu bukan domain kami , tapi dari DJA ( Direktorat Jenderal Anggaran ) atau Setjen , karena itu kan ada PMK nya setiap tahun , bisa diubah jika Badan Litbang di Kementerian mengusulkan menggunakan surat resmi dari Eselon I saja , mungkin seperti itu . Tapi asal alasannya harus jelas ,” jelas Marcellino .
Selain masalah manajemen , masalah kepenulisan juga menjadi dasar masalah lembaga penerbitan jurnal . Seringkali lembaga penerbit jurnal menghadapi krisis penulis seperti yang terjadi pada Kementerian Agama dan BPP Kemendagri . “ Kita pernah krisis naskah , dan terlambat terbit , bahkan kami pernah meminta orang LIPI untuk menulisnya . Saya orang yang selalu rewel jika jurnal melewati deadline penerbitan . Biasanya , saya menyiasatinya dengan mengoptimalkan internal litbang Kemenag sendiri , mereka tinggal dipoles sedikit bisa menyiasati ke-krisisan jurnal itu ,” imbuh Mas ’ ud .
Sekalipun jurnal yang sudah terpercaya seperti jurnal di Kemenag , tetap saja krisis naskah pun bisa terjadi . “ Ada juga jurnal yang sudah bagus tetapi tidak ada yang tertarik . Mungkin ada penulis yang dikecewakan karena tulisannya tidak dimuat . Tetapi intinya , lembaga penerbitan jurnal tersebut harus promosi besar-besaran dan melakukan kerja sama pertukaran naskah dalam satu bidang ilmu ,” saran Wahid .
Untuk mengatasi hal tersebut , Wahid menyarankan agar pimpinan lembaga harus rajin menjalin kerja sama , terutama dengan reviewer ( mitra bestari ), karena krediblitas reviewer akan menentukan keberlanjutan jurnal . Hal itu bisa dilakukan dengan promosi atau call for paper . Ada undangan konferensi yang menjaring naskah sebanyak-banyaknya . “ Umumkan yang lulus seleksi , dan mengadakan kegiatan ilmiah yang terkait dengan penulisan artikel yang masuk ke jurnal sehingga bisa berlanjut terus ,” jelas Wahid .
Selain masalah krisis naskah , menurut Suwitno , Kasubid Fasilitasi Jurnal Ilmiah Kemenristekdikti , permasalahan yang sering terjadi di perguruan tinggi adalah kualitas penulisan . “ Dari sisi kualitas harus ditingkatkan , yang membedakan jurnal dan majalah adalah ada proses penilaian . Sehingga tidak semua tulisan yang masuk bisa dijurnalkan . Kalau dari Kemenristekdikti sendiri mengutamakan kebaharuan . Kalau tidak ada kajian yang baru buat apa meneliti ,” ungkapnya .
Kepada Tim Media BPP , Suwitno mengatakan , publikasi ilmiah peneliti Indonesia pun dalam skala internasional masih dinilai rendah . Dari 60 ribu dosen dan peneliti , Indonesia hanya mampu menghasilkan 4 ribu karya ilmiah yang dimuat dalam jurnal internasional per tahun , sangat jauh jika dibandingkan dengan negara Malaysia yang menghasilkan 60 s . d 70 ribu pertahun .
“ Saat ini Indonesia sendiri memiliki 3.200 perguruan tinggi yang 98 di antaranya adalah perguruan tinggi negeri , semoga di masa yang akan datang ada peningkatan dari jumlah peneliti ,” kata Suwitno .
E-Journal , siapkah ?
Bukan hal baru , ketika dua lembaga ( LIPI dan Kemenristekdikti ) menetapkan bahwa per 1 April 2016 semua jurnal harus dikelola secara elektronik . Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 Tahun 2014 ten-