Majalah PPI UK Summer-Autumn | Page 19

persen dari total populasi Indonesia pada saat itu. Namun, jika kenaikan diiringi dengan paket kompensasi berupa raskin untuk 17 persen kelompok masyarakat dengan pengeluaran terbawah, maka angka kemiskinan akan turun menjadi 14.67 persen. Jika paket kompensasi dilengkapi dengan pembebasan SPP maka angka tersebut semakin turun menjadi 14.21 persen. Pemberian kompensasi dapat menurunkan angka kemiskinan karena langsung diterima oleh masyarakat yang memang masuk dalam kategori miskin, tidak seperti subsidi BBM yang kebanyakan justru dinikmati kelompok masyarakat dengan pendapatan tinggi.

Survey Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002 menunjukkan bahwa subsidi BBM sangat tidak tepat sasaran. Sebanyak 20 persen masyarakat dengan pengeluaran terbawah hanya menikmati 7 persent subsidi BBM, sementara 20 persen masyarakat dengan pendapat tertinggi menikmati 43 persen dan 20 persen kedua tertinggi menyedot 23 persen subsidi BBM.

Masalah subsidi yang tidak tepat sasaran lagi-lagi menjadi salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi di tahun 2013. Susenas tahun 2009 menunjukkan bahwa 83 persen subsidi BBM dinikmati oleh 50 persen masyarakat dengan pendapatan tertinggi di Indonesia. Studi dari Dartanto (2013) juga menunjukkan bahwa 63.8 persen dari subsidi BBM antara tahun 1998-2013 masuk ke kantong masyarakat kelas menengah dan atas.

Fenomena ini jelas menunujukkan bahwa selama bertahun-tahun pemerintah tidak belajar memperbaiki distribusi subsidi. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa muatan politik dari subsidi jauh lebih kental dibanding pertimbangan ekonomi.

dibanding pertimbangan ekonomi.

Lalu bagaimana perkiraan dampak kenaikan harga BBM di tahun 2013?

Masih merujuk pada studi yang dilakukan oleh Dartanto (2013), mengurangi subsidi BBM sebanyak 25 persen akan menaikkan angka kemiskinan sebanyak 0.25 persen. Namun, jika dana yang dihemat dialokasikan langsung ke anggaran pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dan paket kompensasi yang diberikan ke rumah tangga miskin, maka angka kemiskinan akan berkurang sebanyak 0.27 persen. Bahkan jika pun pemerintah menghapus subsidi BBM sebanyak 100 persen dan mengalokasikan 50 persen dana yang dihemat untuk pengeluaran pemerintah, paket kompensasi dan subsidi lainnya, angka kemiskinan tetap turun sebesar 0.071 persen.

Namun harus dicatat bahwa angka-angka tersebut adalah prediksi matematis. Keadaan di lapangan seringkali tidak sesuai dengan teori yang direncanakan pemerintah. Selalu ada saja para pemburu rente yang menimbun BBM lalu menjualnya di atas harga pasar. Pembagian paket kompensasi juga belum tentu 100 persen tepat sasaran. Untuk itu, pemerintah wajib memperketat pengawasan terhadap harga BBM bersubsidi yang dijual di pasaran dan pembagian paket kompensasi.

Terlepas dari banyaknya kritik, terutama pada pembagian BSLM, paket kompensasi dianggap sebagai pilihan kebijakan yang paling tepat untuk meredam dampak negatif jangka pendek kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap rumah tangga miskin (Mourougane, 2010). Sebenarnya kompensasi tak jauh berbeda dengan subsidi, hanya saja kebijakan ini cenderung lebih tepat sasaran dan cost nya lebih dapat diperhitungkan.

Drama Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

19