Diwarnai dengan perdebatan panjang, putusnya tali koalisi dan tudingan politik dagang sapi, sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan perubahan Anggaran Peneriman dan Belanja Negara (APBN-P) 2013. Tiga hari kemudian, pemerintah resmi menaikan harga BBM Bersubsidi menjadi Rp 6,500 per liter untuk Premium dan Rp 5,500 untuk Solar.
Keputusan tersebut memancing reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat yang tidak sudi merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM bersubsidi. Demonstrasi yang kebanyakan dipimpin oleh mahasiswa dan buruh pecah di berbagai sudut Nusantara. Beberapa jam jelang diumumkannya kenaikan harga, antrian kendaraan bermotor mengular di berbagai stasiun pengisian bahan bahar umum (SPBU). Lagu lama yang menuduh pemerintah tidak pro-rakyat kembali dinyanyikan di jalanan.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dianggap sebagai jalan pintas yang dapat membuat rakyat menjadi lebih miskin dan menderita. Benarkah demikian?
Drama Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Mari sedikit menengok ke pengalaman masa silam. Pada bulan Maret 2005, pemerintah resmi menaikan harga BBM bersubsidi. Harga Premium naik dari Rp 1,810 ke Rp 2,400 per liter, sementara Solar untuk transportasi naik dari Rp 1,650 ke Rp 2,100 per liter.
Benarkah kenaikan harga BBM bersubsidi mengatrol jumlah orang miskin? Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (2005) menunjukkan bahwa asumsi tersebut tidak sepenuhnya salah, kenaikan harga akan menaikkan angka kemiskinan, dengan catatan kenaikan tidak dibarengi dengan kompensasi berupa raskin (beras untuk kelompok miskin) dan pembebasan iuran sekolah yang biasa dikenal dengan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Namun jika dibarengi dengan paket kompensasi, kenaikan harga justru menurunkan angka kemiskinan.
Berdasarkan hasil simulasi dalam Tabel 1, ketika harga BBM bersubsidi naik, angka kemiskinan akan bertambah sebesar 0.24 persen dari 16.25 persen menjadi 16.49 persen
18