15
merupakan tahun terakhir dari program undergraduate masters (di mana 4 tahun program sarjana atau undergraduate akan mendapat gelar S2 atau masters degree). Term yang sangat singkat berujung pada jadwal ketat seperti di pagi hari saya pergi ke kelas dan setiap sore dihabiskan di laboratorium. Namun, pengalaman belajar di Cambridge ini membuat saya semakin tertarik dengan dunia penelitian.
Di akhir studi saya di Cambridge, saya pada mulanya berpikir untuk melamar kerja. Namun, saya juga memiliki cita-cita untuk sekolah setinggi mungkin selagi masih muda. Di sisi lain, saya juga tidak ingin memberatkan orang tua dengan studi S3 dengan biaya sendiri. Dari pengalaman saya, sangat sulit untuk mahasiswa asing mendapatkan beasiswa. Jadi, karena tidak ada beasiswa di Cambridge, saya mencoba untuk mendaftar ke University of Oxford. Lagi-lagi saya harus mendatangi universitas tersebut khusus untuk diwawancara oleh tiga orang dosen. Saya khawatir karena pendaftaran beasiswa dari universitas sudah ditutup, tetapi untungya peluang beasiswa dari perusahaan masih terbuka. Itupun hanya mencakup biaya kuliah untuk mahasiswa lokal yang jauh lebih sedikit daripada biaya untuk mahasiswa asing. Meskipun begitu, saya memberanikan diri untuk bernegosiasi dan setelah penantian yang menegangkan, akhirnya saya berhasil mendapatkan beasiswa dari sebuah perusahaan di Amerika yang bersedia menanggung semua biaya sekolah dan biaya hidup saya.
Sekalipun mendapatkan beasiswa, saya masih menimbang-nimbang apakah akan melakukan studi S3. Program doktoral di UK pada dasarnya hanyalah proyek penelitian (pada umumnya 3-4 tahun). Selain harus memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar, juga dibutuhkan semangat pantang menyerah (sangat penting untuk pekerjaan yang berhubungan dengan eksperimen di lab), dan kegigihan melakukan hal tersebut dalam jangka panjang agar dapat menyelesaikan program S3. Namun, khusus di bidang saya, sebenarnya Oxford mempunyai fasilitas yang sangat lengkap. Kebetulan, instrumen untuk eksperimen saya adalah fasilitas state of the art yang bahkan tidak tersedia di Cambridge, atau universitas lainnya di UK. Proyek penelitian saya juga merupakan bagian dari kerjasama berbagai perusahaan dan universitas di UK, Eropa dan US. Karena itu saya dapat bertemu langsung dengan ahli-ahli ilmu bahan dari berbagai perusahaan, universitas, dan pusat penelitian terkemuka di berbagai negara. Menyadari kesempatan ini tidak akan datang dua kali, saya pun mengambil offer tersebut.
Melihat kembali cerita saya, saya menyadari bahwa jalan yang saya tempuh ini bukanlah jalan yang lurus dan mulus. Awalnya saya berpikir sangat sulit dan tidak semua orang dapat belajar di universitas ternama, tetapi keberanian dan optimisme saya membuat saya seperti sekarang ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah memberikan kesempatan berharga di akhir perjuangan saya. Selama kita terus mencoba, tak ada yang mustahil. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi para calon mahasiswa Indonesia yang ingin belajar ke UK.
Versi lengkap cerita ini bisa dilihat di: pesanabang.ppiuk.org/tak-ada-yang-mustahil/
Pesan Abang: Tak Ada yang Mustahil