opini
Daya Saing Bangsa Indonesia
Ungkapan “Daya Saing Bangsa Indonesia” ini bukanlah konsep
sederhana yang tembus-pandang dan bermakna tunggal serta universal.
Daya saing bangsa mengasumsikan komparabilitas suatu keadaan di
mana kita sebagai negara-bangsa dapat duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi dengan negara lain. Kita dalam keadaan on equal
footing.
Dalam wacana pengembangan universitas di negeri ini, kita sering
mendengar bahwa perguruan tinggi kita harus berkaca pada
perkembangan World Class Universities suatu tata kelola dan layanan
perguruan tinggi kelas dunia yang dicirikan, antara lain, oleh high tech,
massive open access course offering, dan penggunaan yardstick yang
relatif konstan lintas kasus. Contoh konkretnya adalah publikasi terindeks
SCOPUS: Bagaimana caranya agar kita dapat membaca pikiran-pikiran
yang digagas orang lain lewat publikasi SCOPUS?
Bagaimana pada waktunya kita dapat menggagas
pikiran kita sendiri dan mengkomunikannya kepada
sidang pembaca pada jurnal terindeks SCOPUS?
Like it or not, kita digiring ke arah itu, bila ingin
disandingkan dengan warga kelas dunia!
Mau atau tak-mau, kita harus mulai memilah
dan memilih “ticket” utama yang hendak kita
andalkan sebagai tanda-masuk ke kawasan
mendunia itu. Negara lain telah bebenah
memperbaiki diri dalam mempelajari dan
menggunakan bahasa Inggris dan teknologi tinggi
dari pendidikan dasar sampai level pendidikan
doktor! Itulah tampaknya yang telah dan tengah
dilakukan Cina belakangan ini. Dua tickets dipilih
dan diutamakan untuk menata diri dan masuk ke
gelanggang persaingan global. Bagaimana dengan
kita?
Kolaborasi macam apa yang perlu dilakukan dan pola
manajeman seperti apa yang mungkin bisa dilakukan dan cocok bagi
Indonesia?
Jawabannya mungkin tidak sederhana dan mungkin tidak akan
muncul dari ruang opini yang terbatas ini. Akan tetapi, satu hal terasa jelas
bahwa orang-orang beriman yang berorientasi masuk syurga tak pelak
lagi akan melihat upaya ini sebagai kesempatan emas yang ditunggu-
tunggu. Yakni, sejenis aktivitas yang kondusif bagi terjadinya
“perlombaan dalam aksi kebajikan” dan yang memberi kita peluang bagi
kemanfaatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya ummat
manusia, khususnya yang tengah berusaha memperbaiki diri dan
keluarganya.
Itulah jenis gambaran persekongkolan ukhrowi yang tengah kita
cari. Kita rintis jalan mulus ke amalan jariyyah yang dapat mengantarkan
kita menuju ke syurga yang paripurna. Semoga.
Ke mana biduk hendak dikayuh? Quo
Vadis Indonesia?
Indonesia sudah sangat lama mengidamkan
situasi di mana kita merasa berdaulat dalam
mengurus dan mengembangkan diri sendiri, dengan
berkaca dan belajar dari pengalaman perjalanan
bangsa lain. Kita ingin PT (perguruan tinggi) kita
berdaulat seperti halnya perguruan-perguruan
tinggi kelas dunia lainnya yang dapat dengan
leluasa menentukan nasibnya sendiri tanpa
ketergantungan yang terlalu berat pada pihak lain
yang mungkin memiliki motif lain semisal prot-
making yang di kedepankan para pebisnis
pendidikan. Tetapi mampukan kita menciptakan
kondisi dan memampukan diri-sendiri seperti yang
diinginkan?
Itulah pertanyaan jujur yang hendak kita
jawab dengan kejujuran pula. Para narsum (nara
sumber) yang diwawancarai Komunita semuanya
mengakui bahwa tanggungjawab mengelola
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama
dan oleh karena itu harus dipikul bersama dengan
sinergitas yang saling-menguntungkan rakyat
banyak: suatu entitas abstrak yang senantiasa kita
atas namakan.
Berdasarkan pengalaman dan
kreativitasnya, bangsa Indonesia telah sangat mahir
mendesain kerjasama dalam berbagai hal. Tetapi
untuk kali ini, bisakah untuk dan atas nama kebaikan
rakyat banyak kita bersatu padu dalam niat dan
aksi kependidikan yang dicita-citakan bersama?
Yakni: menyediakan pendidikan yang berkualitas
tinggi, tetapi dengan ongkos yang ramah
terhadap peserta didik, dan yang
memberdayakan masyarakat sebagai pencipta
lapangan ker ja (job crea tor) dan bukan
mengerdilkannya sebagai pencari kerja (job
seekers).
Sumber : Mktg
komunita 24 | April 2019
33