Majalah Komunita Edisi 24 | Page 33

opini Daya Saing Bangsa Indonesia Ungkapan “Daya Saing Bangsa Indonesia” ini bukanlah konsep sederhana yang tembus-pandang dan bermakna tunggal serta universal. Daya saing bangsa mengasumsikan komparabilitas suatu keadaan di mana kita sebagai negara-bangsa dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara lain. Kita dalam keadaan on equal footing. Dalam wacana pengembangan universitas di negeri ini, kita sering mendengar bahwa perguruan tinggi kita harus berkaca pada perkembangan World Class Universities suatu tata kelola dan layanan perguruan tinggi kelas dunia yang dicirikan, antara lain, oleh high tech, massive open access course offering, dan penggunaan yardstick yang relatif konstan lintas kasus. Contoh konkretnya adalah publikasi terindeks SCOPUS: Bagaimana caranya agar kita dapat membaca pikiran-pikiran yang digagas orang lain lewat publikasi SCOPUS? Bagaimana pada waktunya kita dapat menggagas pikiran kita sendiri dan mengkomunikannya kepada sidang pembaca pada jurnal terindeks SCOPUS? Like it or not, kita digiring ke arah itu, bila ingin disandingkan dengan warga kelas dunia! Mau atau tak-mau, kita harus mulai memilah dan memilih “ticket” utama yang hendak kita andalkan sebagai tanda-masuk ke kawasan mendunia itu. Negara lain telah bebenah memperbaiki diri dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Inggris dan teknologi tinggi dari pendidikan dasar sampai level pendidikan doktor! Itulah tampaknya yang telah dan tengah dilakukan Cina belakangan ini. Dua tickets dipilih dan diutamakan untuk menata diri dan masuk ke gelanggang persaingan global. Bagaimana dengan kita? Kolaborasi macam apa yang perlu dilakukan dan pola manajeman seperti apa yang mungkin bisa dilakukan dan cocok bagi Indonesia? Jawabannya mungkin tidak sederhana dan mungkin tidak akan muncul dari ruang opini yang terbatas ini. Akan tetapi, satu hal terasa jelas bahwa orang-orang beriman yang berorientasi masuk syurga tak pelak lagi akan melihat upaya ini sebagai kesempatan emas yang ditunggu- tunggu. Yakni, sejenis aktivitas yang kondusif bagi terjadinya “perlombaan dalam aksi kebajikan” dan yang memberi kita peluang bagi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya ummat manusia, khususnya yang tengah berusaha memperbaiki diri dan keluarganya. Itulah jenis gambaran persekongkolan ukhrowi yang tengah kita cari. Kita rintis jalan mulus ke amalan jariyyah yang dapat mengantarkan kita menuju ke syurga yang paripurna. Semoga. Ke mana biduk hendak dikayuh? Quo Vadis Indonesia? Indonesia sudah sangat lama mengidamkan situasi di mana kita merasa berdaulat dalam mengurus dan mengembangkan diri sendiri, dengan berkaca dan belajar dari pengalaman perjalanan bangsa lain. Kita ingin PT (perguruan tinggi) kita berdaulat seperti halnya perguruan-perguruan tinggi kelas dunia lainnya yang dapat dengan leluasa menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan yang terlalu berat pada pihak lain yang mungkin memiliki motif lain semisal prot- making yang di kedepankan para pebisnis pendidikan. Tetapi mampukan kita menciptakan kondisi dan memampukan diri-sendiri seperti yang diinginkan? Itulah pertanyaan jujur yang hendak kita jawab dengan kejujuran pula. Para narsum (nara sumber) yang diwawancarai Komunita semuanya mengakui bahwa tanggungjawab mengelola pendidikan merupakan tanggungjawab bersama dan oleh karena itu harus dipikul bersama dengan sinergitas yang saling-menguntungkan rakyat banyak: suatu entitas abstrak yang senantiasa kita atas namakan. Berdasarkan pengalaman dan kreativitasnya, bangsa Indonesia telah sangat mahir mendesain kerjasama dalam berbagai hal. Tetapi untuk kali ini, bisakah untuk dan atas nama kebaikan rakyat banyak kita bersatu padu dalam niat dan aksi kependidikan yang dicita-citakan bersama? Yakni: menyediakan pendidikan yang berkualitas tinggi, tetapi dengan ongkos yang ramah terhadap peserta didik, dan yang memberdayakan masyarakat sebagai pencipta lapangan ker ja (job crea tor) dan bukan mengerdilkannya sebagai pencari kerja (job seekers). Sumber : Mktg komunita 24 | April 2019 33