Majalah Komunita Edisi 24 | Page 32

opini Menyibak jalan dan menginisiasi persekongkolan ukhrowi: mencari kampiun amalan altruistik menuju syurga Bachrudin Musthafa, Prof., PhD Guru Besar Literasi Bahasa & Sastra Inggris, SPs-UPI Ilustrasi : @nandaniekam K omunita edisi April 2019 ini benar-benar menggoda saya untuk berpikir ke luar zona nyaman. Betapa tidak: tajuk rencana yang diangkat Redaksi dan suara para narsum (nara sumber) kali ini benar-benar terasa berpikir keras untuk dapat menguak jalan ke luar dari kesumpekan tiga masalah besar yang mengepung Indonesia sebagai negara-bangsa. “APK Perguruan Tinggi, Kualitas SDM, dan Daya Saing Bangsa Indonesia”. 32 komunita 24 | April 2019 APK Perguruan Tinggi (APK PT) kita baru mencapai sekitar 33%, dan angka ini relatif rendah dibanding negara tetangga semisal Malaysia (38%) dan Singapura (78%). Status APK PT yang rendah ini, kata Prof. Dinn Wahyudin, merupakan konsekuensi langsung dari penekanan program nasional yang masih berpihak pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (yang saat ini telah mencapai lebih dari 95%). Masuk akal terutama kalau dipikirkan bahwa Indonesia memiliki keterbatasan bujet yang tak memungkinkan mengutamakan semua tingkat pendidikan. Akan tetapi, masalahnya bukan cuma ihwal penekanan. Ada isu orientasi pembangunan pendidikan tinggi juga yang problematis: alih-alih menekankan program vokasional yang berorientasi pasar kerja, PT (perguruan tinggi) kita lebih mengutamakan program akademik yang berpretensi mencetak ilmuwan-akademisi pada jenjang S1, S2, dan S3. Demikian jelas Prof. Dinn. Ditambah lagi, sebaran PT secara geogras dan disparitas kualitas layanan akademik yang ditawarkan juga bermasalah yakni sebagian besar PT berkualikasi A tersebar di Pulau Jawa dan di bawah Perguruan Tinggi Negeri. Kompleksitas masalah yang dihadapi semacam inilah yang memaksa narsum kita sambat tentang perlunya sinergi dan kolaborasi antarelemen terpenting bangsa: Pemerintah (Kemenristek Dikti), Pihak Swasta Penyelenggara PT, dan Pihak Industri yang mempekerjakan lulusan PT. Tentang kerumitan tantangan ini, dua narsum yang lain--Prof. Endang Caturwati dan Ir. Dharnita Chandra, M.Si menyetujuinya. Dalam esei pendek ini selanjutnya akan dibahas kolaborasi macam apa yang perlu dilakukan dan pola manajeman seperti apa yang mungkin bisa dilakukan dan cocok bagi Indonesia, namun, sebelum hal itu dilakukan, terlebih dahulu kita perlu mendudukkan tiga ungkapan kunci di dalam tema besar Komunita kali ini. APK Perguruan Tinggi Secara universal, seperti yang diindikasikan Prof. Dinn, APK dapat dipandang sebagai indeks kemampuan pemerintah berjalan dalam memfasilitasi akses rakyatnya (yang berminat) masuk ke perguruan tinggi (PT); dan ini juga merupakan cerminan aspirasi masyarakat untuk mengambil pendidikan formal pada jenjang yang tinggi ini (yakni S1, S2, dan/atau S3). Dipandang dari sisi ini, Indonesia (dengan APK 33%) tidak semaju yang diinginkan karena APT di negeri tetangga kita lebih tinggi. Untuk menyebut dua saja Malaysia (dengan APT 37) dan Singapura (78%) berada di atas Indonesia. Apakah rakyat Indonesia merasa berada di bawah tetangga ini? Jawabnya tidak sesederhana yang diduga. Apakah benar bahwa kita sebagai negara-bangsa menginginkan semua warga negara berpendidikan universiter? Saya meragukan kenyataan ini. Karena, untuk menyebut alasan yang fundamental saja, tujuan pendidikan nasional kita tidak mengarah ke sana. Kualitas SDM Indonesia Ungkapan “Kualitas SDM Indonesia” ini menuntut penjelasan lanjut, terutama karena konsep “kualitas” itu sendiri bukanlah merupakan konsep objektif meskipun dapat diobjektifkan atas kesepakatan (kelompok) orang tertentu. Frasa “Kualitas SDM Indonesia” oleh karena itu harus dimaknai sesuai konteks penggunaannya dalam keterkaitannya dengan tatanilai yang kita pilih sesuai keyakinan kita. Seringkali kita bicara kualitas kompetensi akademis seseorang terbatas pada IPK (indeks prestasi kumulatif), yang merupakan satu faktor saja dari sejumlah faktor lain yang kita utamakan dalam pendidikan termasuk kemampuan menyesuaikan diri (adaptability), kemampuan berinovasi (innovativeness), kemampuan berkreasi (creativity), kemampuan mengatasi tantangan yang dihadapi (adversity competence), dan kemampuan melakoni kegiatan kehidupan kita dengan intergitas tinggi (integrity). Jadi, kualitas SDM Indonesia yang kita impikan seperti apa? Ini ada hubungannya dengan mimpi-kolektif kita sebagai negara-bangsa. Ketika kita memiliki gambaran yang tak jelas tentang “kualitas” yang diinginkan, maka konsep kualitas menjadi sesuatu yang tak terukur. Rentetan akibat selanjutnya adalah ketakjelasan arah dan tujuan. Kalau sudah seperti ini kita lantas sangat mudah diobang-ambingkan kriteria eksternal yang dipilihkan orang lain buat menghakimi kita. Kita dalam konteks semacam ini seperti kehilangan kedaulatan atas diri sendiri. Kita kehilangan kemandirian atas nasib peruntungan kita sendiri sebagai negara-bangsa. Agar kita dapat mengukur diri-sendiri, mari kita merujuk kembali cita-cita kolektif kita tentang kebesaran bangsa yang kita idam- idamkan seperti yang disuarakan dalam tujuan pendidikan nasional kita.