MAJALAH DIMENSI | Page 71

\ SASTRA \ Barangkali, memang tak ada yang senostalgia senja di dunia. Senja pertama yang dilihatnya setelah menghirup dunia kebebasan telah memantik kenangan-kenangan lain untuk mengantri di kepala dan menunggu giliran untuk diingat. Namun kenangan Mi yang selalu sehat itu mesti bertarung terlebih dahulu dengan pikiran yang belum sepenuhnya lepas dari tekanan-tekanan mental yang hampir sepuluh tahun telah menjerumuskannya ke dalam kegilaan. Keningnya berkerut. Jemarinya bergetar memegangi pinggiran kursi. Matanya masih menerawang ke depan—senja masih terpantul di lensa matanya. “Ibu,” panggilnya. Dia telah memilih kenangan pertama untuk diingat. Ibunya—yang sedari tadi menunggui dari ruang tamu—tergopoh keluar. Sesungguhnya wanita itu masih khawatir dengan keadaan anaknya. Barangkali jika dia tidak menangis selama seminggu terakhir, semua warga masih akan bersikukuh memasung anaknya itu di kamarnya yang semakin lama seolah semakin menjerumuskan kegilaan Mi pada keheningan. Ya, kegilaan itu sungguh absurd. Pada awalnya adalah teriakan, umpatan, pukulan-pukulan ke ranjang dan dinding kayu, yang terus menjadi tanda bahwa penyakit itu masih ada. Namun semakin lama Mi berdiam di kamar—terpasung, yang tersisa tinggallah kesunyian. Mulut yang terus meracau men-dadak terkunci, tingkahnya pun tak lagi spontan, pandangan mata itu kosong dan menerawang. Namun pandangan sunyi itu yang membuat orang yakin kalau Mi masih gila. Pendapat yang diamini semua orang kecuali ibunya. “Anak itu telah sembuh,” bujuknya pada semua orang untuk membuka pasungan, “anakku pasti sembuh.” “Iya, Nak! Kenapa?” katanya saat duduk di sisi Mi. Sungguh, dia pun merasa jika mata itu masih menyimpan rahasia yang sebenarnya sangat berisiko. Dia ingat 10 tahun yang lalu, di masa-masa awal kegilaan anaknya, Mi sering berbuat rusuh di rumah-rumah tetangga, mengobrak-abrik warung, buang kotoran di depan rumah atau tengah jalan, bahkan suka berjalan telanjang bakda azan Zuhur menggema. Keonaran-keonaran itu membuat warga geram. Keluarganya tak bisa menolak saat mereka meminta Mi dikurung dalam pasungan. Namun Mi tak ingat masa-masa itu. Kenangan yang datang begitu melihat senja pertama setelah 8 tahun itu telah memenuhi kepalanya. Seolah kenangan lain menjadi tidak penting. Seolah Mi telah menemukan satu jawaban yang bisa mendekatkannya pada kesembuhan yang sebenarnya—dan dia menyadari hal itu. Seolah dia bisa hidup hanya dengan satu kenangan yang kemudian dia tanyakan dengan kalimat paling wa