MAJALAH DIMENSI | Page 11

menyebabkan ia kini berbicara dengan logat yang berbeda. Meski manggut-manggut, saat itu saya masih heran dan tak paham. Fenomena ini tampaknya bukan hanya saya yang menemukan. Berbincang dan berdiskusi dengan kawan-kawan, mereka ternyata juga pernah menemukan hal yang sama. Apakah kejadian tersebut bisa digolongkan sebagai kelatahan? Menurut kamus Bahasa Indonesia, salah satu pengertian dari kata latah adalah meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain. Beberapa mahasiswa mengaku lebih jarang menggunakan bahasa aslinya ketika masuk ke pergaulan atau lingkungan kampus. Alasan yang paling banyak dikemukakan mengapa mereka cenderung menyesuaikan bahasa yang digunakan adalah untuk mempermudah komunikasi. Titi Nur Maulida, mahasiswi jurusan komunikasi salah satu universitas negeri di Semarang asal Pemalang, Jawa Tengah, mengungkapkan alasan mengapa ia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dan hampir tidak menggunakan bahasa lokalnya. “Karena teman dekat asalnya dari Medan, otomatis nggak mudeng bahasa Jawa. Temanteman kuliah juga banyak yang dari luar Jawa. Dan walau sesama Jawa, logatnya pun bedabeda. Kadang timbul salah paham kalau pakai bahasa Jawa,” kata Titi. Titi juga menambahkan ketika di kost, ia juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. “Bukan berarti nggak pakai bahasa Jawa sama sekali. Kalau ketemu sesama anak Pemalang di Semarang pakai bahasa Jawa. Jadi bukan ikutikutan sih, hanya memudahkan komunikasi aja.” Hampir senada dengan Titi, Riani Anggraini, mahasiswa Teknik Lingkungan yang juga berasal dari Pemalang menuturkan kalau dirinya menggunakan logat Pemalang hanya bila bertemu dengan orang yang berasal dari daerah yang sama dengannya. “Aku juga ikut terbawa pakai bahasa temen, tapi tetep pakai bahasa daerah sendiri juga. Kenapa harus malu? Bagus, kan, jadi tahu banyak bahasa,” tuturnya. Foto: Dian Adi Pratama AHAN Oleh: Bela Jannahti & Arum Ambarwati AHASA LOKAL edisi 49 | majalah dimensi 11