MAJALAH DIMENSI | Page 55

CERPEN dulu, tiba-tiba. “Entahlah, hujan mungkin.” Maksudmu? Aku diam waktu itu, sedetik lalu berlanjut beberapa menit sampai akhirnya kau mulai terusik dengan situasi hening seperti itu. Bagaimana kalau burung dara, katamu lagi memecah hening “Merpati maksudmu?” Jika yang kau maksud hujan adalah perumpamaan, maka perumpamaan yang aku inginkan adalah merpati, katamu Waktu itu kau bicara banyak hal tentang merpati. Cerita yang tak kusukai karena alasan pribadi. Bagaimana dengan hujan? Kenapa kau ingin seperti hujan ? “Entahlah,” kataku lagi. Aku menyesap kopiku perlahan. “Mungkin karena hujan itu pendiam tapi menyenangkan.” Kau menoleh tapi hanya diam, waktu itu kau terlihat penasaran. Meskipun tidak ada pertanyaan yang terlontar, aku tahu sorot matamu menyimpan banyak pertanyaan. “Jika semua yang kita bicarakan malam itu adalah perumpamaan, menurutmu bagaimana dengan Kopi Kintamani? Bukankah hidup ini seperti kopi? Akan lebih nikmat jika dinikmati bersamamu. Lalu saat sudah tidak ada lagi kata ‘bersamamu’ di akhir kalimat, barangkali hidup ini juga sudah kembali hambar,” kataku, kali ini aku menenggak habis sisa kopiku. Malam semakin larut, semua bergerak maju, sangat cepat, terburu-buru. Jarum jam telah berputar ratusan kali, lalu pelanggan bergantian datang dan pergi seperti senja dan bulan. Tak ada yang benarbenar berhenti untuk menikmati. Termasuk aku, lelaki yang akan mati karena kopi, tapi juga lelaki yang tidak bisa hidup tanpa kopi. Ini seperti kopi adalah obat sekaligus racun dalam waktu bersamaan. Jika kau