CERPEN
dulu, tiba-tiba.
“Entahlah, hujan mungkin.”
Maksudmu?
Aku diam waktu itu, sedetik lalu berlanjut beberapa
menit sampai akhirnya kau mulai terusik dengan
situasi hening seperti itu.
Bagaimana kalau burung dara, katamu lagi
memecah hening
“Merpati maksudmu?”
Jika yang kau maksud hujan adalah perumpamaan,
maka perumpamaan yang aku inginkan adalah
merpati, katamu
Waktu itu kau bicara banyak hal tentang merpati.
Cerita yang tak kusukai karena alasan pribadi.
Bagaimana dengan hujan? Kenapa kau ingin seperti
hujan ?
“Entahlah,” kataku lagi. Aku menyesap kopiku
perlahan. “Mungkin karena hujan itu pendiam tapi
menyenangkan.”
Kau menoleh tapi hanya diam, waktu itu kau terlihat
penasaran. Meskipun tidak ada pertanyaan yang
terlontar, aku tahu sorot matamu menyimpan banyak
pertanyaan.
“Jika semua yang kita bicarakan malam itu adalah
perumpamaan, menurutmu bagaimana dengan
Kopi Kintamani? Bukankah hidup ini seperti kopi?
Akan lebih nikmat jika dinikmati bersamamu. Lalu
saat sudah tidak ada lagi kata ‘bersamamu’ di akhir
kalimat, barangkali hidup ini juga sudah kembali
hambar,” kataku, kali ini aku menenggak habis sisa
kopiku.
Malam semakin larut, semua bergerak maju,
sangat cepat, terburu-buru. Jarum jam telah berputar
ratusan kali, lalu pelanggan bergantian datang dan
pergi seperti senja dan bulan. Tak ada yang benarbenar berhenti untuk menikmati.
Termasuk aku, lelaki yang akan mati karena kopi,
tapi juga lelaki yang tidak bisa hidup tanpa kopi. Ini
seperti kopi adalah obat sekaligus racun dalam waktu
bersamaan. Jika kau