CERPEN
Aroma Kenangan
Oleh: Miftahudin | Desain: Afrizal Fajar
SEBENTAR, tunggu sampai aroma kenangan ini habis. Lalu kau boleh kembali menangis.
K
amu mau jadi apa setelah ini? katamu dulu,
sesaat setelah menyandarkan kepala di
bahuku, seperti yang sering kau lakukan.
Bedanya, waktu itu kau lebih banyak bicara soal citacita dari biasanya.
Kau banyak berbicara soal masa depan. Pekerjaan,
suami, berapa anak yang ingin kau punyai, sampai
keinginanmu dari dulu ingin tinggal di Banyuwangi.
“Kau tahu kenapa Banyuwangi adalah Banyuwangi?”
katamu.
Aku menoleh beberapa detik, pikirku ini hanya
pertanyaan retorik yang tak perlu dijawab. Lalu
beberapa detik kemudian kau menjelaskan panjang
lebar. Dugaanku benar.
Aku bahkan masih bisa mengingat caramu bercerita.
Kau selalu bersemangat, matamu berbinar setiap
kali kau menyebut kata Banyuwangi. Lalu di akhir
kalimat kau akan memasang senyuman bulan sabit di
wajahmu. Itu salah satu bagian yang paling aku suka.
“Silahkan kopinya, Mas!” suara khas pelayan
Pondok Kopi sesaat mengembalikanku ke tanah.
Semuanya sama seperti hari-hari sebelumnya saat
kita duduk di meja ini. Bedanya, kali ini aku memilih
kopiku sendiri. Biasanya kau yang memilihkan
untukku. Meski kadang kau sering memaksa untuk
memesan makanan-makanan yang bernama aneh.
Rasanya juga aneh. Sekadar penasaran ingin
mencicipi, katamu. Lalu saat aku menolak, kau tetap
akan memaksa dengan penjelasan-penjelasan yang
sebenarnya tak pernah kudengarkan tapi selalu aku
iyakan. Aku lebih suka memperhatikan caramu bicara
ketimbang apa yang kau bicarakan.
Aku memejamkan mata beberapa detik. senja
membungkuk di balik bukit lalu perlahan-lahan
ditenggelamkan oleh cahaya yang ia bawa sendiri.
Sementara dari arah sebaliknya, bulan sudah mulai
muncul menggantikan posisi senja. Barangkali
memang sudah menjadi tradisi, setiap ada yang
datang harus ada yang pergi. Sama seperti bulan
dan senja. Aku membayangkan seandainya saat
bulan datang, senja tidak beranjak pergi. Barangkali
mereka berdua bisa indah berdampingan. Tentu
saja akan sangat indah jika sekali-kali langit dihiasi
oleh dua cahaya. Sama indahnya andai saja kau
54 | DIMENSI
tidak memutuskan untuk benar-benar tinggal di
Banyuwangi.
Aku membayangkan waktu bisa di-pause, semua
kejadian bisa dihentikan sebentar, sementara hanya
kita berdua yang tetap bisa bergerak. Seperti rencana
jahilmu dulu untuk mengerjai Nia si Comel—salah
satu temanmu: menggambar kumis di mukanya
dan beberapa coretan-coretan lucu dengan lipstik
berwarna merah muda yang selalu kau bawa dalam
tasmu. Dan ketika waktu berjalan kembali, semua
orang akan menertawakan muka cemong Nia. Lalu
kau akan tertawa puas.
Tapi jika semua itu bisa dilakukan, maka hal yang
paling ingin ku lakukan adalah, menghentikan senja
selama-lamanya. Tepat saat ketika kita menikmati
kopi bersama.
AKU menyesap Kopi Kintamani ini. Aromanya beda,
tidak sama dengan kopi-kopi yang pernah kita nikmati
sebelumnya. Barangkali seperti ini bau kenangan itu.
Sementara itu, langit semakin gelap, lalu warna
hitam mulai mendominasi langit diikuti cahayacahaya kecil yang berpencar datang satu paket,
menggantikan senja. Aku menyesap lagi kopiku.
Kurasakan kafein, begitu hangat membasahi
tenggorokan lalu merambat ke otak dan berhenti
pada sebuah kenangan. Seolah di setiap teguk kopi
tersembunyi lubang hitam yang selalu menyedotku,
memaksa kembali ke masa lalu. Lalu saat itu terjadi,
maka tiba-tiba bumi akan menjadi senyap. Langkah
kaki menjadi lambat, langit akan terlihat lebih jelas
dari biasanya.
Jika seumpama kamu adalah aku saat ini, kira-kira
apa kau juga akan terlempar ke dalam suasana ini.
Kopi, malam, bintang, bulan setengah lingkaran, dan
seterusnya. Apa yang kau ingat ?
Aku harap kau selalu menyelipkan wajahku di
setiap ingatanmu. Sama seperti aku yang selalu
mengingatmu dalam diam di setiap malam, di setiap
aroma kopi, setiap waktu.
Termasuk kenangan-kenangan saat kita berkelakar,
membicarakan rumus kehidupan, berdebat soal
konsep jodoh lalu kita tertawa karena sama-sama
tidak paham.
Seandainya bisa memilih, kau mau jadi apa? katamu