MAJALAH DIMENSI | Page 54

CERPEN Aroma Kenangan Oleh: Miftahudin | Desain: Afrizal Fajar SEBENTAR, tunggu sampai aroma kenangan ini habis. Lalu kau boleh kembali menangis. K amu mau jadi apa setelah ini? katamu dulu, sesaat setelah menyandarkan kepala di bahuku, seperti yang sering kau lakukan. Bedanya, waktu itu kau lebih banyak bicara soal citacita dari biasanya. Kau banyak berbicara soal masa depan. Pekerjaan, suami, berapa anak yang ingin kau punyai, sampai keinginanmu dari dulu ingin tinggal di Banyuwangi. “Kau tahu kenapa Banyuwangi adalah Banyuwangi?” katamu. Aku menoleh beberapa detik, pikirku ini hanya pertanyaan retorik yang tak perlu dijawab. Lalu beberapa detik kemudian kau menjelaskan panjang lebar. Dugaanku benar. Aku bahkan masih bisa mengingat caramu bercerita. Kau selalu bersemangat, matamu berbinar setiap kali kau menyebut kata Banyuwangi. Lalu di akhir kalimat kau akan memasang senyuman bulan sabit di wajahmu. Itu salah satu bagian yang paling aku suka. “Silahkan kopinya, Mas!” suara khas pelayan Pondok Kopi sesaat mengembalikanku ke tanah. Semuanya sama seperti hari-hari sebelumnya saat kita duduk di meja ini. Bedanya, kali ini aku memilih kopiku sendiri. Biasanya kau yang memilihkan untukku. Meski kadang kau sering memaksa untuk memesan makanan-makanan yang bernama aneh. Rasanya juga aneh. Sekadar penasaran ingin mencicipi, katamu. Lalu saat aku menolak, kau tetap akan memaksa dengan penjelasan-penjelasan yang sebenarnya tak pernah kudengarkan tapi selalu aku iyakan. Aku lebih suka memperhatikan caramu bicara ketimbang apa yang kau bicarakan. Aku memejamkan mata beberapa detik. senja membungkuk di balik bukit lalu perlahan-lahan ditenggelamkan oleh cahaya yang ia bawa sendiri. Sementara dari arah sebaliknya, bulan sudah mulai muncul menggantikan posisi senja. Barangkali memang sudah menjadi tradisi, setiap ada yang datang harus ada yang pergi. Sama seperti bulan dan senja. Aku membayangkan seandainya saat bulan datang, senja tidak beranjak pergi. Barangkali mereka berdua bisa indah berdampingan. Tentu saja akan sangat indah jika sekali-kali langit dihiasi oleh dua cahaya. Sama indahnya andai saja kau 54 | DIMENSI tidak memutuskan untuk benar-benar tinggal di Banyuwangi. Aku membayangkan waktu bisa di-pause, semua kejadian bisa dihentikan sebentar, sementara hanya kita berdua yang tetap bisa bergerak. Seperti rencana jahilmu dulu untuk mengerjai Nia si Comel—salah satu temanmu: menggambar kumis di mukanya dan beberapa coretan-coretan lucu dengan lipstik berwarna merah muda yang selalu kau bawa dalam tasmu. Dan ketika waktu berjalan kembali, semua orang akan menertawakan muka cemong Nia. Lalu kau akan tertawa puas. Tapi jika semua itu bisa dilakukan, maka hal yang paling ingin ku lakukan adalah, menghentikan senja selama-lamanya. Tepat saat ketika kita menikmati kopi bersama. AKU menyesap Kopi Kintamani ini. Aromanya beda, tidak sama dengan kopi-kopi yang pernah kita nikmati sebelumnya. Barangkali seperti ini bau kenangan itu. Sementara itu, langit semakin gelap, lalu warna hitam mulai mendominasi langit diikuti cahayacahaya kecil yang berpencar datang satu paket, menggantikan senja. Aku menyesap lagi kopiku. Kurasakan kafein, begitu hangat membasahi tenggorokan lalu merambat ke otak dan berhenti pada sebuah kenangan. Seolah di setiap teguk kopi tersembunyi lubang hitam yang selalu menyedotku, memaksa kembali ke masa lalu. Lalu saat itu terjadi, maka tiba-tiba bumi akan menjadi senyap. Langkah kaki menjadi lambat, langit akan terlihat lebih jelas dari biasanya. Jika seumpama kamu adalah aku saat ini, kira-kira apa kau juga akan terlempar ke dalam suasana ini. Kopi, malam, bintang, bulan setengah lingkaran, dan seterusnya. Apa yang kau ingat ? Aku harap kau selalu menyelipkan wajahku di setiap ingatanmu. Sama seperti aku yang selalu mengingatmu dalam diam di setiap malam, di setiap aroma kopi, setiap waktu. Termasuk kenangan-kenangan saat kita berkelakar, membicarakan rumus kehidupan, berdebat soal konsep jodoh lalu kita tertawa karena sama-sama tidak paham. Seandainya bisa memilih, kau mau jadi apa? katamu