MAJALAH DIMENSI | Page 11

LAPORAN UTAMA atau pemilk kepentingan mulai jarang ditemui. Jika pada era orde baru, kerap ditemukan sekelompok mahasiswa mengadakan long march, apel bersama warga sipil menuntut pemilik kepentingan, maka saat ini, ketika demokrasi sedang di atas awan aksi-aksi tersebut justru jarang kelihatan. Tapi bukannya tidak ada, namun aksi tersebut sudah berubah wujud. Tengok Twitter, aplikasi garapan Jack Dorsey yang kini lebih ramai dikunjungi para demonstran. Atau macam-macam petisi terbuka, yang dengan mudah bisa diakses dan dibaca oleh siapa saja, kapan pun, dimana pun. Hanya perlu membaca beberapa menit, kemudian tanda tangan. Petisi pun di retweet atau dibagikan kepada banyak netizen lain. Simpati berdatangan, timbul sebuah ilusi seolah-olah hal tersebut adalah bagian dari kepedulian terhadap nasib bangsa. Sosial media ramai, banyak yang mengaku peduli pada persoalan bangsa. Tapi, kepedulian berhenti hanya sampai di layar kaca. Di gerakan yang sesungguhnya, jumlah pengikut tak sebanyak ketika di ranah maya. “Waktu di Facebook, status yang nge-like ribuan. Yang komentar juga banyak. Tapi sewaktu turun ke aksi nyata, yang ikut cuma di angka ratusan,” adalah komentar Menteri Koordinator Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Semarang, Ulul Mukmin, ketika ditanyai perihal gerakan melalui sosial media. Hal lain juga diungkapkan oleh Presiden BEM Universitas Negeri Semarang, M. Mughnil Labib, yang mengatakan bahwa sosial media berperan bagus ketika digunakan sebagai media propaganda karena bisa menjaring banyak orang. Seiring dengan derasnya arus modernisasi, pergerakan mahasiswa mulai mencari bentuk baru. Banyaknya opini masyarakat yang menilai bahwa aksi demonstrasi mahasiswa selalu berujung anarkis mendorong adanya metode lain. Salah satu yang saat ini sedang booming adalah petisi terbuka atau petisi online. Disebut petisi terbuka karena petisi yang umumnya berisi tuntutan tersebut dapat diakses oleh siapa saja. Situs change.org mi-salnya, yang memuat ratusan petisi oleh masyarakat ataupun mahasiswa. Ilham Maulana, Presiden BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro (Undip) periode 2015 adalah salah satu aktivis yang tuntutannya berhasil dikabulkan pemerintah via petisi terbuka. Ia bersama Rian Aprilatama, Presiden BEM FKM Undip periode 2013, mempelopori petisi yang akhirnya diikuti oleh BEM FKM seluruh Indonesia, isinya menuntut pemerintah mengembalikan gelar sarjana FKM yang semula S.Kes diubah kembali menjadi S.KM. “Menurut saya sangat efektif (petisi terbuka-red) karena kebetulan saya bikin akun, bikin member dan banyak sekali hal yang bisa kita lakukan hanya dengan sekali klik,” ujarnya ketika ditanya mengenai keefektifan petisi online. Reformasi kembali menawarkan perubahan bagi pergerakan mahasiswa. Kini, aksi demonstrasi yang nyata seringkali sepi, tak seramai ketika aksi demonstrasi via sosial media. Padahal, penandatanganan petisi terbuka sering menembus angka lebih dari seribu. Hari ini, perjuangan Indonesia sedang berubah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara statistik dinyatakan meningkat. Banyak pemuda yang bisa dengan mud