LAPORAN UTAMA
atau pemilk kepentingan mulai jarang ditemui. Jika
pada era orde baru, kerap ditemukan sekelompok
mahasiswa mengadakan long march, apel bersama
warga sipil menuntut pemilik kepentingan, maka saat
ini, ketika demokrasi sedang di atas awan aksi-aksi
tersebut justru jarang kelihatan.
Tapi bukannya tidak ada, namun aksi tersebut
sudah berubah wujud. Tengok Twitter, aplikasi
garapan Jack Dorsey yang kini lebih ramai dikunjungi
para demonstran. Atau macam-macam petisi terbuka,
yang dengan mudah bisa diakses dan dibaca oleh
siapa saja, kapan pun, dimana pun. Hanya perlu
membaca beberapa menit, kemudian tanda tangan.
Petisi pun di retweet atau dibagikan kepada banyak
netizen lain. Simpati berdatangan, timbul sebuah
ilusi seolah-olah hal tersebut adalah bagian dari
kepedulian terhadap nasib bangsa. Sosial media
ramai, banyak yang mengaku peduli pada persoalan
bangsa. Tapi, kepedulian berhenti hanya sampai di
layar kaca. Di gerakan yang sesungguhnya, jumlah
pengikut tak sebanyak ketika di ranah maya.
“Waktu di Facebook, status yang nge-like ribuan.
Yang komentar juga banyak. Tapi sewaktu turun ke
aksi nyata, yang ikut cuma di angka ratusan,” adalah
komentar Menteri Koordinator Sosial Politik Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri
Semarang, Ulul Mukmin, ketika ditanyai perihal
gerakan melalui sosial media.
Hal lain juga diungkapkan oleh Presiden BEM
Universitas Negeri Semarang, M. Mughnil Labib, yang
mengatakan bahwa sosial media berperan bagus
ketika digunakan sebagai media propaganda karena
bisa menjaring banyak orang.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi,
pergerakan mahasiswa mulai mencari bentuk baru.
Banyaknya opini masyarakat yang menilai bahwa
aksi demonstrasi mahasiswa selalu berujung anarkis
mendorong adanya metode lain. Salah satu yang saat
ini sedang booming adalah petisi terbuka atau petisi
online. Disebut petisi terbuka karena petisi yang
umumnya berisi tuntutan tersebut dapat diakses oleh
siapa saja. Situs change.org mi-salnya, yang memuat
ratusan petisi oleh masyarakat ataupun mahasiswa.
Ilham Maulana, Presiden BEM Fakultas Kesehatan
Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro (Undip)
periode 2015 adalah salah satu aktivis yang
tuntutannya berhasil dikabulkan pemerintah via petisi
terbuka. Ia bersama Rian Aprilatama, Presiden BEM
FKM Undip periode 2013, mempelopori petisi yang
akhirnya diikuti oleh BEM FKM seluruh Indonesia,
isinya menuntut pemerintah mengembalikan gelar
sarjana FKM yang semula S.Kes diubah kembali
menjadi S.KM. “Menurut saya sangat efektif (petisi
terbuka-red) karena kebetulan saya bikin akun, bikin
member dan banyak sekali hal yang bisa kita lakukan
hanya dengan sekali klik,” ujarnya ketika ditanya
mengenai keefektifan petisi online.
Reformasi kembali menawarkan perubahan bagi
pergerakan mahasiswa.
Kini, aksi demonstrasi yang nyata seringkali sepi,
tak seramai ketika aksi demonstrasi via sosial media.
Padahal, penandatanganan petisi terbuka sering
menembus angka lebih dari seribu.
Hari ini, perjuangan Indonesia sedang berubah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara statistik
dinyatakan meningkat. Banyak pemuda yang
bisa dengan mud