Majalah Cakrawala Edisi 425 Tahun 2015 25 | Page 20
opini
20
dan mahkamah spesial arbitrase. Yurisdiksi yang dapat
dimiliki mahkamah yang dibentuk hanya terkait pada
“penafsiran dan penerapan ketentuan dalam UNCLOS.
Selain itu negara-negara diperbolehkan untuk membuat
deklarasi tentang pemberlakuan sistem penyelesian
sengketa ini khususnya tentang pasal 15, 74 dan 83
UNCLOS tentang pemberlakuan batas maritim, hak
kesejarahan, dan hak-hak tradisional; sengketa tentang
aktivitas militer, dan sengketa terkait dengan peran
Dewan Keamanan PBB. Negara Tiongkok, Filipina,
Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Australia
merupakan negara di kawasan yang menggunakan hak
deklarasi ini.
Penyelesaian sengketa melalui mekanisme yang
diatur dalam UNLCOS 1982 mempunyai keterbatasan
yurisdiksi yaitu hanya pada persoalan penafsiran dan
penerapan ketentuan UNCLOS 1982. Keterbatasan
ini tentu saja akan membawa konsekuensi dalam
penyelesaian sengketa yang mengandung status
kepemilikan feature geografis dan batas maritim seperti
sengketa Laut Tiongkok Selatan.Penyelesaian sengketa
terkait status kepemilikan pulau/karang biasanya
diselesaikan melalui negosiasi ataupun Mahkamah
Internasional.
Mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UNCLOS
1982 ini dapat dikatakan merupakan mekanisme
yang sangat kompleks antara lain mengkomodasikan
penyelesaian secara damai melalui mekanisme sukarela
(voluntary) sebagaimana dianut dalam Piagam PBB,
akan tetapi UNCLOS 1982 mengatur juga mekanisme
yang mengikat (compulsory procedure). Selain itu
negara-negara diperbolehkan untuk membuat deklarasi
yang tidak terikat pada penyelesaian yang mengikat
tersebut. Oleh karena itu mekanisme penyelesaian ini
sangat kompleks dan mengharuskan negara-negara
untuk mempelajari dan memahami prosedur ini. Seperti
dalam hukum nasional, penyelesaian sengketa dalam
hukum internasional harus pula memperhatikan hukum
acara (rule of procedure), hukum material (element of
crimes/subjects/mattes), dan pendanaan (budgeting).
Ketiga unsur ini harus diperhatikan secara mendalam
sebelum suatu negara membawa sengketa/kasus ke
mekanisme penyelesaian sengketa secara internasional.
Mahkamah Arbitrase Filipina versus Tiongkok
Berdasarkan pasal 287 dan lampiran VII UNCLOS,
Filipina menempuh mekanisme sistem putusan
mengikat dengan mengajukan penyelesaian sengketa
Laut Tiongkok Selatan ke Mahkamah Arbitrase pada 23
Januari 2013 melalui Nota Diplomatik Filipina Nomor
13-0211.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Negara Tiongkok)
pada tanggal 19 Februari 2013 dan 1 Agustus 2013
menyatakan bahwa tidak setuju dengan proses arbitrase
dan tidak akan ikut dalam proses persidangan Mahkamah
Arbitrase yang dibentuk. Tiongkok tidak setuju dengan
penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase disebabkan
dalam Declaration of Conduct (DOC) para negara
claimant telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa
Laut Tiongkok Selatan akan diselesaikan melalui
mekanisme negosiasi antar para pihak ataupun dengan
forum ASEAN. Oleh karena itu Tiongkok tidak akan
berpartisipasi ataupun ikut dalam Mahkamah Arbitrase.
Ketidakhadiran pihak dalam suatu sengketa dalam
Mahkamah Arbitrase dapat diperbolehkan sesuai Pasal
3 (c dan e) Lampiran VII UNCLOS. Walaupun tidak
hadir dalam persidangan, Tiongkok tetap mempunyai
hak-hak untuk mengikuti dan menerima setiap
perkembangan persidangan. Selain itu hak-hak pihak
yang tidak hadir tetap harus dipertimbangkan dan
dihormati dalam proses persidangan.
Berdasarkan Pasal 9 Lampiran VII UNCLOS
disebutkan bahwa ketidakhadiran pihak dalam suatu
penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase
tidak menghentikan proses penyelesaian. Akan tetapi
sebelum mengambil keputusan nantinya, Mahkamah
Arbitrase harus yakin bahwa mahkamah tersebut
mempunyai yurisdiksi terhadap kasus yang diajukan
dan tuntutannya dapat ditemukan baik secara fakta
maupun hukum. Pada tanggal 11 Juli 2013, Mahkamah
Arbitrase terbentuk dan telah mengadakan rapat
untuk menentukan mekanisme pelaksanaan (rule of
procedure) dan kerangka waktu persidangan.
Filipina menunjuk Rudiger Wolfrum sebagai
Arbiternya, sedangkan Tiongkok karena tidak akan ikut
proses arbitrase maka b