“Irfan, ayah tinggalkan kamu dengan Allah. Allah itu hidup dan tidak akan mati. Allah
itu tidak pula memungkiri janji, ingat pesan ayah ini, Irfan. Ikut perintah Allah, Allah akan
menjaga kamu. Mintalah kepada Allah, Dia sentiasa ada untuk menolong kamu. Ayah tidak
kisah apa pun yang hendak kamu lakukan untuk kehidupan kamu, asalkan kamu menjadi
hamba-Nya yang diredai.” Suara Pak Kassim semakin perlahan dan tersekat-sekat. Namun,
suara itu cukup jelas pada pendengaran Irfan. Terjawab semua persoalan yang sedang berlegar
di fikirannya.
“Irfan ingat, ayah. Irfan ingat!” itulah pesanan ayahnya berulang kali, semenjak dia
masih kecil. Di hujung hayatnya pun, ayahnya masih berpesan akan perkara ini.
Pak Kassim tersenyum sambil menahan kesakitan. Dia memandang ke atas. Rasa sakit yang
menjalar di seluruh urat nadinya terasa tidak tertanggung lagi. Bisa ular tedung sudah menjalar
hingga ke jantung. Dadanya terasa semakin sesak.
“Kalau... kalau...kamu benar-benar jaga apa yang ayah pesan, ayah boleh pergi dengan
tenang...”
Tangan Pak Kassim terlepas dari kepala Irfan. Irfan mengangkat wajahnya. Mata
ayahnya sudah terpejam. Bibir ayahnya kelihatan tergerak-gerak mengucapkan kalimah
syahadah. Irfan turut mengucapkan kalimah itu seiringan ditelinga ayahnya. Dan ayahnya
terkulai layu.
Irfan senyap. Apa yang berlaku di hadapannya seperti suatu mimpi buruk. Jantungnya
terasa direntap kuat. Akhirnya, air mata sahaja yang mengalir untuk menenangkan.
Ini ujian Allah. Itulah yang berulang kali dia bisikkan di dalam hatinya. Di tengah-tengah
kawasan lapang yang sepi, di hadapan kebun tempat menyara sebuah kehidupan, ayahnya
berpulang. Pulang ke pangkuan-Nya dengan meninggalkan pesan yang digenggam kejap oleh
Irfan.
47