COVERSTORY
Industri TPT Terganjal Stigma
Kontribusi Ekspor TPT Indonesia pada Ekspor Non Migas
2010
Total Ekspor Nasional
Produk Non Migas
(Tekstil + Fiber) clothing
2011
2012
Jan – Mar’12
(dalam US$ miliar)
Jan – Mar’13
157,8
129,7
11,2
203,6
162,0
13,3
190,0
153,1
12,5
48,5
38,5
3,2
45,4
37,3
3,2
% share produk (Tekstil + Fiber)
clothing pada ekspor nasional
7,1%
6,5%
6,56%
6,57%
7,01%
% share produk (Tekstil + Fiber)
clothing pada non migas
8,7%
8,2%
8,14%
8,27
% Jan – Mar
12/13
8,53%
penjualan TPT pada tahun lalu
menyusut 2% dari US$20,6
miliar pada 2011 menjadi
US$20,2 miliar yang disebabkan
oleh turunnya nilai ekspor dari
US$13,2 miliar menjadi US$12,6
miliar akibat krisis ekonomi
global.
Selain itu, di dalam negeri
sekitar 400 perusahaan tekstil
dan produk tekstil terancam
mati suri karena pemberlakuan
Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No 253 Tahun 2011.
PMK No. 253 Tahun 2011 adalah
aturan tentang pengembalian bea
masuk yang telah dibayar atas
impor barang dan bahan untuk
diolah, dirakit, atau dipasang
pada barang lain dengan tujuan
untuk diekspor.
Lewat beleid ini pengusaha
sudah tidak lagi mendapatkan
fasilitas penangguhan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan
Bea Masuk ketika mengekspor.
Menurut Ade, aturan ini
jelas menekan pengusaha TPT
lokal. Sebelum aturan tersebut
berlaku, pengusaha mendapatkan
penangguhan PPN dan bea masuk.
Namun kini eksportir tekstil harus
membayar PPN di muka, sementara
proses restitusi pajak semakin lama
sehingga mengganggu permodalan
industri.
Keluhan serupa juga datang dari
Suryadi Sasmita, presiden direktur
PT Indonesia Wacoal. Pria yang juga
menjabat sebagai sekjen APINDO
(Asosiasi Pengusaha Indonesia) ini
16 INDONESIAN INDUSTRY AGUSTUS 2013
menyoroti buruknya infrastuktur
yang berujung pada mahalnya biaya
logistik di dalam negeri.
Soal naiknya UMP, disebutnya
bahwa komponen upah pada
industri garmen sebesar 30%40% dari satu piece hasil produksi
garmen. “Jadi kenaikan 25% saja
dari komponen yang 40% tadi,
sudah memberi kontribusi kenaikan
10% secara keseluruhan. Margin
garmen sebelum kenaikan saja
cuma 5%-10%. Jadi kenaikan 10%
tadi mereka harus dikompensasikan
produsen dengan kenaikan harga,”
ujar Suryadi.
-6,4%
-3,3%
-0,2%
Berikutnya perihal biaya
logistik yang tinggi, ia
gambarkan dengan pengiriman
produk ke pelabuhan yang
dulunya bisa tiga kali
pengiriman dilakukan oleh satu
truk, kini hanya bisa dilakukan
satu kali saja.
“Dulu kita kirim truk ke
pelabuhan dalam satu hari bisa
bolak balik tiga kali. Sekarang
cuma satu kali balik, mau truk
kecil atau besar, atau kontainer.
Karena stag infrastrukturnya.
Sekarang ada 4.000 kontainer
gak bisa keluar, nggak muat,”
keluhnya.
Belum lagi serbuan produk
impor yang masuk secara
ilegal. Populasi yang begitu
besar sebagai pasar sudah
lama menjadi incaran produsen
luar negeri. Sayangnya, kata
Suryadi, selain mereka masuk
seceara legal, sebagian produk
mereka juga dimasukkan dengan
cara tak legal. Ia menyebut produkproduk bermerk yang dihitung
secara kiloan ketika masuk ke bea
cukai, padahal seharusnya pajak
harus dikenakan per piece dari tiap
produk. “Itu kenyataan, mereka
masukkan 30% secara legal, sisanya
70% dimasukkan dengan hitungan
per kilogram. Harusnya kan
barang branded dihitung per piece,”
tandasnya.
Soal pajak, suryadi juga
menyebut sejumlah komponen pajak
yang amat memberatkan, dari pajak
barang modal, pajak pertambahan