Industry edisi agustus 2013 | Page 16

COVERSTORY Industri TPT Terganjal Stigma Kontribusi Ekspor TPT Indonesia pada Ekspor Non Migas 2010 Total Ekspor Nasional Produk Non Migas (Tekstil + Fiber) clothing 2011 2012 Jan – Mar’12 (dalam US$ miliar) Jan – Mar’13 157,8 129,7 11,2 203,6 162,0 13,3 190,0 153,1 12,5 48,5 38,5 3,2 45,4 37,3 3,2 % share produk (Tekstil + Fiber) clothing pada ekspor nasional 7,1% 6,5% 6,56% 6,57% 7,01% % share produk (Tekstil + Fiber) clothing pada non migas 8,7% 8,2% 8,14% 8,27 % Jan – Mar 12/13 8,53% penjualan TPT pada tahun lalu menyusut 2% dari US$20,6 miliar pada 2011 menjadi US$20,2 miliar yang disebabkan oleh turunnya nilai ekspor dari US$13,2 miliar menjadi US$12,6 miliar akibat krisis ekonomi global. Selain itu, di dalam negeri sekitar 400 perusahaan tekstil dan produk tekstil terancam mati suri karena pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 253 Tahun 2011. PMK No. 253 Tahun 2011 adalah aturan tentang pengembalian bea masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. Lewat beleid ini pengusaha sudah tidak lagi mendapatkan fasilitas penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Masuk ketika mengekspor. Menurut Ade, aturan ini jelas menekan pengusaha TPT lokal. Sebelum aturan tersebut berlaku, pengusaha mendapatkan penangguhan PPN dan bea masuk. Namun kini eksportir tekstil harus membayar PPN di muka, sementara proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri. Keluhan serupa juga datang dari Suryadi Sasmita, presiden direktur PT Indonesia Wacoal. Pria yang juga menjabat sebagai sekjen APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) ini 16 INDONESIAN INDUSTRY AGUSTUS 2013 menyoroti buruknya infrastuktur yang berujung pada mahalnya biaya logistik di dalam negeri. Soal naiknya UMP, disebutnya bahwa komponen upah pada industri garmen sebesar 30%40% dari satu piece hasil produksi garmen. “Jadi kenaikan 25% saja dari komponen yang 40% tadi, sudah memberi kontribusi kenaikan 10% secara keseluruhan. Margin garmen sebelum kenaikan saja cuma 5%-10%. Jadi kenaikan 10% tadi mereka harus dikompensasikan produsen dengan kenaikan harga,” ujar Suryadi. -6,4% -3,3% -0,2% Berikutnya perihal biaya logistik yang tinggi, ia gambarkan dengan pengiriman produk ke pelabuhan yang dulunya bisa tiga kali pengiriman dilakukan oleh satu truk, kini hanya bisa dilakukan satu kali saja. “Dulu kita kirim truk ke pelabuhan dalam satu hari bisa bolak balik tiga kali. Sekarang cuma satu kali balik, mau truk kecil atau besar, atau kontainer. Karena stag infrastrukturnya. Sekarang ada 4.000 kontainer gak bisa keluar, nggak muat,” keluhnya. Belum lagi serbuan produk impor yang masuk secara ilegal. Populasi yang begitu besar sebagai pasar sudah lama menjadi incaran produsen luar negeri. Sayangnya, kata Suryadi, selain mereka masuk seceara legal, sebagian produk mereka juga dimasukkan dengan cara tak legal. Ia menyebut produkproduk bermerk yang dihitung secara kiloan ketika masuk ke bea cukai, padahal seharusnya pajak harus dikenakan per piece dari tiap produk. “Itu kenyataan, mereka masukkan 30% secara legal, sisanya 70% dimasukkan dengan hitungan per kilogram. Harusnya kan barang branded dihitung per piece,” tandasnya. Soal pajak, suryadi juga menyebut sejumlah komponen pajak yang amat memberatkan, dari pajak barang modal, pajak pertambahan