HEADLINE
NASIONALISME DALAM
BUDAYA PADA KORPORASI
Dunia telah mengenal Indonesia sebagai negeri kaya nan makmur, dengan budaya asli bangsanya
yang menjunjung tinggi nilai-nilai positif. Kekayaan Indonesia pun tak sebatas di alam, tetapi juga
pada keragaman budaya lokal yang arif dan telah membentuk suatu budaya bangsa Indonesia.
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah menyatukan bangsa Indonesia yang
hidup dalam harmoni, di atas keragaman budaya lokal yang tersebar dan terucap oleh lebih dari
700 bahasa daerah, dan di lebih dari 16.000 pulau di negara kepulauan ini.
Dalam
menyongsong
Making
Indonesia 4.0, budaya Indonesia
sejatinya
dapat
menjadi
kebanggaan sekaligus kekuatan
tersendiri bagi orang Indonesia,
tak terkecuali dalam penerapannya
budaya di korporasi. Hal ini akan
mampu membangun sumber daya
manusia Indonesia sebagai modal
insani (human capital) yang tidak
tergantikan oleh mesin, serta
memiliki keunggulan dan daya
saing. Menurut Nerfita Primasari,
Director of People and Culture,
“Justru teknologi ini kalau
dilihat
dari
sisi
positif,
menjadi
enabler
untuk
kita
bisa
memengaruhi
cultural transformation atau
memengaruhi dalam hal-hal
6
Vol. 4 - No. 14 | Agustus 2019 | GREAT ISS
positif yang ada di sekitar kita.
”
Misalnya saja budaya Jawa. Kita
tentu selalu ingat dengan kalimat
bijak yang pernah dikatakan oleh
Bapak Pendidikan Nasional, Ki
Hajar Dewantara. Ya, kalimat
itu berbunyi ‘Ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani’ yang berarti
‘Di depan memberi teladan, di
tengah memberikan motivasi, di
belakang memberikan dorongan.’
Kalimat ini sepatutnya dapat
menjadi semboyan bagi setiap
individu bangsa Indonesia, tak
terkecuali dalam penerapannya di
sebuah perusahaan.
Atau filosofi Jawa yang pernah
diungkapkan oleh Presiden Joko
Widodo beberapa waktu silam,
yaitu ‘Lamun siro sekto ojo mateni,
lamun siro banter ojo ndhisiki,
lamun siro pinter ojo minteri.’
Filosofi hidup bagi Presiden
Republik Indonesia periode 2014-
2019 dan 2019-2024 ini memiliki
arti ‘Meskipun kamu sakti
janganlah suka menjatuhkan,
meskipun kamu cepat jangan
suka mendahului, meskipun
kamu
pintar
janganlah
memintari.’ Dengan kata lain,
filosofi Jawa ini juga mempunyai
makna kerendahan hati yang
dapat menjadi pedoman seseorang
dalam memimpin.