Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Page 19

geo energi/ sarwono istimewa Marwan Batubara menyoroti lemahnya organisasi ekonomi Indonesia yang mengakibatkan terbukanya peluang pengambilalihan oleh mafia, kartel internasional, dan sindikasi. Ini merupakan keniscayaan yang sudah menjadi hukum alam. Celakanya, kata Salamuddin, mandulnya organisasi ekonomi di Indonesia itu belakangan mempengaruhi ketahanan energi. Padahal, ketahanan energi juga berpengaruh terhadap perekonomian secara makro. “Tertangkapnya Rudi Rubiandini oleh KPK dan melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar AS dan mata uang lainnya merupakan dua hal yang saling berhubungan. Keduanya bermula dari defisit anggaran,” paparnya. Itu sebabnya, Salamuddin menilai, sudah saatnya Indonesia menata ulang kekayaan energi Indonesia. Namun ia pesimistis, masalah energi yang dihadapi kini bisa dipecahkan dalam waktu dekat, mengingat tingginya penguasaan asing di sektor migas yang mencapai 85%. Kontrol negara atas produksi minyak menjadi renggang dan sangat bergantung pada mekanisme pasar. Padahal, ketergantungan akan energi ini makin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Menurut dia, solusi yang harus EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013 diupayakan pemerintah adalah solusi permanen yang berdampak jangka panjang, karena ketahanan energi adalah modal penting dalam mewujudkan kedaulatan nasional dan kesejahteraan rakyat. “Pengelolaan alam itu harus diabdikan sepenuhnya untuk rakyat, bukan untuk orang luar, seperti selama ini terjadi,” usul dia. Sementara itu, Marwan Batubara lebih tertarik mengurai persoalan tata kelola migas dari sisi korupsinya. Dia menjelaskan, ada enam kegiatan yang berpeluang terjadinya korupsi di SKK Migas. Yakni, cost recovery, penjualan minyak bagian negara, lelang wilayah kerja, perpanjangan kontrak, alokasi penjualan gas, dan penunjukan sub kontraktor. “Dalam hal cost recovery, garagara dikorupsi biaya investasi yang harus dikembalikan ke kontraktor bertambah besar. Misalkan pendapatan dari produksi migas sebesar Rp 500 triliun, biaya cost recovery harusnya Rp 200 triliun jadi Rp 300 triliun. Artinya yang dibagihasilkan lebih sedikit. Ini saling menikmati antara SKK Migas dan kontraktor, (perusahaan) asing juga kongkalikong,” cetusnya. Berikut, katanya, pada kegiatan penjualan minyak bagian negara, bukan saja yang tidak dapat diproses, yang dapat diproses pun malah di jual ke luar negeri. Salah satunya adalah minyak mentah yang bersumber dari lapangan minyak Duri, Riau. Lalu, terkait lelang wilayah kerja perusahaan harus bayar upeti pada oknumoknum SKK Migas sebesar 10-20 persen dari nilai proyek, jika ingin ditunjuk sebagai sub kontaktor. “Menurut sumber terpercaya, upeti tersebut diminta untuk disetorkan ke rekening koperasi SKK Migas dengan dalih akan digunakan sebagai dana operasional. Ini memang akan dibayar oleh sub kontraktor tetapi kemudian akan menjadi tanggungan negara melalui cost recovery,” ujarnya. Begitu juga dengan perpanjangan kontrak, bahwa setiap perpanjangan kontrak, besarnya dana yang diperoleh negara jauh lebih kecil dari yang Irman Putra Sidin seharusnya karena tidak adanya rujukan peraturan dan tarif yang berlaku. “Padahal secara internasional dikenal adanya tarif akuisisi cadangan migas terbukti yang besarnya sekitar 10-20 persen harga pasar migas.” Sedangkan masalah alokasi penjualan migas juga merupakan peluang yang sangat merugikan negara. Semestinya, sambung Marwan, penjualan didahulukan pada kepentingan domestik dan BUMN. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Akibatnya, kepentingan dalam negeri menjadi tidak terpenuhi dan merugikan. “Contohnya kasus PLN yang selama dua tahun menggunakan APBN sebesar Rp 35 Triliun untuk membeli energi yang lebih mahal dari gas, karena tidak kebagian,” jelasnya lagi. Terakhir, kegiatan penunjukan sub kontraktor yang tidak transparan, melanggar aturan dan sarat dengan unsur percaloan. “Praktik suap menyuyap seperti kasus kernel oil merupakan hal yang bisa jadi telah terjadi pula pada tender lainnya,” katanya. Menurut Marwan, untuk memberantas persoalan tersebut, diperlukan perbaikan sistem yang menyeluruh dan wajib mendapat pengawasan masif dari semua kalangan. G 19