Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Page 18
Nasional
Kembalikan Sektor
Energi ke UUD 45
SKK Migas menjadi sasaran tembak seluruh kalangan
menyusul tertangkap tangannya orang nomor satu di
lembaga pengatur hulu migas tersebut. Aktivis, DPR,
dan kalangan pengamat pun ramai-ramai menyerukan
evaluasi terhadap lembaga pengganti BP Migas itu. Meski
begitu, belum ada formula yang pas untuk membasmi
praktik korupsi yang terlanjur menggerogoti lembaga
negara itu.
Oleh ishak pardosi
P
sarwono
EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013
energi/
18
dimaksud dengan kemakmuran
rakyat adalah ketika cabang
produksi atau kekayaan alam itu
dibutuhkan oleh rakyat, semua
harus tersedia. Jika sampai
ada kelangkaan, Irman menilai
negara belum mampu memenuhi
kemakmuran rakyat. “Yang paling
penting lagi, harganya harus
terjangkau dan distribusinya
merata. Kita tahu sendiri bahwa
sejauh ini negara belum memenuhi
kemakmuran rakyat. Padahal di
Undang-undang Dasar kita, telah
diatur aspek ketatanegaraan
termasuk hal ekonomi di dalam
geo
akar Hukum Tata Negara,
Irman Putra Sidin, tampak
berapi-api mengomentari
betapa buruknya tata
kelola migas di dalam
negeri. Bagi dia, kasus Rudi
Rubiandini menjadi bukti otentik
betapa negara belum mampu
menguasai hajat hidup orang
banyak. Ia meyakini, selama negara
tidak menjadi tuan di negeri sendiri
maka selama itu pula pengelolaan
energi akan amburadul. Semua
yang dikuasai negara, tujuannya
haruslah untuk kemakmuran rakyat.
Irman menambahkan, yang
pasal 33. Harusnya Negara mampu
mengaplikasikannya,” katanya.
Hal itu dikatakan Irman dalam
diskusi bertajuk Tata Kelola Migas
yang Adil Bagi Rakyat, yang
diadakan Perhimpunan Gerakan
Keadilan (PGK), di Jakarta, Jumat
(23/8/2013). Pembicara lain yang
hadir dalam acara tersebut adalah
Direktur Indonesia for Global
Justice (IGJ) Salamuddin Daeng
dan Direktur Eksekutif Indonesian
Resources Studies (IRESS) Marwan
Batubara.
Irman menambahkan, carutmarut pengelolaan migas lagi-lagi
tidak bisa diharapkan melalui revisi
UU Migas yang saat ini digodok
DPR. Ia berpendapat, konsep UU
Migas tersebut belum memuat
poin-poin yang seratus persen
memihak ke rakyat. Seharusnya,
sambung dia, pemerintah tak
hanya bertugas untuk mengatur
tetapi juga mengelola. Jika tak
bisa, selemah-lemahnya iman
pemerintah, mereka harus mampu
untuk mengatur dan mengawasi
dimana negara mengeluarkan izin
dan konsesi.
“Namun paradigma UU migas
hanya diperuntukkan pada rezim
pasar global dimana peran negara
dalam penguasaan kekayaan
alam dan cabang produksi
mandul. BP migas hanya tunduk
pada kontrak dan negara tidak
bisa melakukan apa-apa. Inilah
yang melatarbelakangi BP migas
dibubarkan. Karena jika BP migas
melakukan kontrak , negara
memotong urat nadinya sendiri.
memasung dirinya untuk tidak
menguasai kekayaan alam dan
cabang produksi. Ini adalah logika
yang salah,” bebernya.
Irman menambahkan,
paradigma yang harus dibangun
dalam UU Migas kedepan bukan
lagi menggunakan paradigma
rezim pasar. UU Migas harus
berwatak nasionalis. Negara harus
mengelola kekayaan alam dan
cabang-cabang p roduksi negara.
“Kalau tidak mampu baru diberikan
pada pihak ketiga dengan catatan
harus menguntungkan negara.
Kalau negara mau mengelola, jelas
untungnya akan jauh lebih besar,”
tukas dia.
Salamuddin Daeng juga