ada warga Tionghoa yang memiliki
SHM dan diketahui oleh pemerintah
daerah, maka status tanah tersebut
akan diturunkan menjadi Hak Guna
Bangunan (HGB).
Salah satu warga Tionghoa yang
merasakan perlakuan diskriminasi
yang dilakukan oleh pemerintah
daerah di DIY yaitu Siput Lokasari.
Tanah yang dibeli istrinya di
Kabupaten Kulon Progo seluas 2.000
M2 lebih pada tahun 2015 hingga kini
belum bisa memimilki SHM.
“Hinga kini tanah yang dibeli
istri saya belum memiliki SHM,
alasannya karena istri saya
merupakan WNI Non-Pribumi. Ini
jelas-jelas tindakan diskriminasi
yang dilakukan Gubenur DIY
sebagai kepala daerah terhadap
warga keturunan Tionghoa secara
sistemaitis,” ucap Siput saat ditemui
Jia Xiang, Jumat (7/10/2016).
Menurut Siput warga Tionghoa
dianggap sebagai WNI NonPribumi, ini tidak sesuai dengan
UU No 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis, dalam UU tersebut seluruh
WNI memiliki hak yang sama.
Selain itu perlakukan Gubenur DIY
melarang warga Tionghoa memiliki
SHM tanah dapat diindikasikan
bahwa Gubenur DIY telah
melakukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia berupa ras diskriminasi,
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104 ayat (1) UU 39 tahun 1999
tentang HAM.
HALAMAN
S E B E L U M N YA
HUMANIORA
Warga Tionghoa
di DIY Masih
Diperlakukan
Diskriminasi
“Seharusnya sebagai kepala
daerah, Sultan HB X harus
tunduk terhadap konstitusi yang
berlaku di negara ini dengan
memperbolehkan warga Tionghoa
memiliki SHM di DIY. Hal tersebut
dikarenakan sejak tahun 1984 di
DIY sudah berlaku Undang-Undang
Pokok Argaria (UUPA) No.5/1960
melalui Perda No.3 tahun 1984.
Dalam Perda tersebut juga
mencabut semua peraturan tanah
di DIY seblum tahun 1984, sehingga
surat No.K989/I/A/1975 tanggal 5
Maret 1975 secara otomatis tidak
berlaku lagi di DIY,” tegas Siput.
Siput menuturkan setelah
tahun 1984 sebenarnya sudah ada
beberapa warga Tionghoa yang
sudah bisa memiliki SHM tanah dan
bangunan yang dimiliki mereka.
Termasuk dirinya yang membeli
sebidang tanah di dekat Puro
Pakualaman pada tahun 1990, dan
berhasil memperoleh SHM.
“Sebelum membeli tanah
tersebut saya bertanya terlebih
dahulu kepada Sri Paduka Paku
Alam VIII yang mengelurkan surat
instrikusi 1975. Saya boleh tidak
17 | Jia Xiang Hometown • e-MAGZ 17 • 2016
HALAMAN
B E R I K U T