. SOROT UTAMA
PETANI
TEMBAKAU
DIANAKTIRIKAN
oleh: Arifina Budi Aswati & Widya Citra Andini
Pada 21 Mei 2003 WHO resmi
mengeluarkan traktat Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka
Kerja Pengendalian Tembakau yang hingga kini
telah ditandatangani oleh 168 negara di dunia.
Indonesia sendiri masih bimbang untuk
meratifikasi FCTC ini karena ditakutkan akan
menurunkan kesejahteraan petani tembakau.
Cuaca yang tak menentu juga menjadi kendala petani tembakau, akibatnya
panen banyak yang gagal dan mempengaruhi harga bibit serta pupuk. >>
T
ati (44) sedang duduk di teras
rumahnya di Desa Sukasari, Kecamatan
Tanjungsari,
Sumedang
bersama
keluarganya siang itu, Selasa (29/4), tampak
sedang memandangi jemuran tembakau yang
terhampar luas di halaman rumahnya. Meski
cuaca hari itu sangat cerah, namun dirinya
tetap cemas bila nanti tiba-tiba hujan turun.
Memasuki rumahnya yang sangat
sederhana, di dalamnya penuh dengan
tembakau
kering
berkantong-kantong.
Putrinya, Tini (26), menjelaskan bahwa
tembakau tersebut adalah hasil panen tahun
kemarin.
“Karena cuacanya sekarang hujan
terus jadi proses penanamannya terhambat,
tanamannya mati terus. Ditambah lagi
sekarang harganya lagi turun, dari Rp 300 ribu
jatuh ke Rp 70 ribu,” ungkap Tini. Akibatnya,
tahun ini keluarganya harus berusaha
berhemat memenuhi kebutuhan hidup.
Indonesia penghasil tembakau terbesar
ke-6 dunia dengan kontribusi produksi
tembakau sebesar 1,91% dari total produksi
dunia. Cina, Brazil, dan India meduduki
tiga terbesar produsen tembakau dengan
12
kontribusi total sebesar 64%. Meski begitu,
ketiga Negara tersebut telah mengambil
langkah meratifikasi FCTC, sementara itu
Indonesia belum berani melakukannya.
Permasalahannya adalah setidaknya sebanyak
enam juta petani tembakau Indonesia
terancam gulung tikar apabila Indonesia
meratifikasi FCTC.
“TIDAK ADANYA BANTUAN
DARI PEMERINTAH
DALAM HAL
PERMODALAN
MENYEBABKAN BANYAK
PETANI TEMBAKAU
YANG GULUNG TIKAR”
Toto (41) Ketua Kelompok Tani Gunasari
yang juga petani tembakau dan pengepul dari
Desa Sukasari, Sumedang menjelaskan kepada
tim dotdoc petani-petani di Desa Sukasari
sekarang sudah mulai dibina untuk mengelola
Tahu Sumedang karena dikhawatirkan
tembakau tidak lagi bertahan hingga beberapa
tahun ke depan. Pun para petani tembakau
sudah diimbau untuk alih komoditi menjadi
penanam sayur.
“Petani tembakau saja sudah rugi, kalau
dialihkan ke sayur nanti jadi semakin rugi,”
ungkap Toto. Alasannya, harga sayuran tidak
se-stabil harga tembakau.
Toto menjelaskan, petani tembakau
di Sumedang kini tidak lagi memiliki lahan
yang cukup untuk bertanam sehingga harus
melakukan penanaman di tempat lain seperti
di daerah Cicaheum, Ujungberung, bahkan
hingga Indramayu. Minimnya lahan tanam
karena alihfungsi lahan menjadi salah satu
faktor kendala petani tembakau. Di samping itu,
faktor cuaca juga sangat mempengaruhi masa
tanam tembakau terutama sejak pertengahan
tahun 2013 hingga tahun 2014 Jawa Barat
mengalami musim hujan yang panjang. Hal ini
menyebabkan petani kesulitan memperoleh
bibit serta mengembangbiakkannya.
“Tembakau itu tidak bisa ditanam di
tanah basah. Kalaupun tumbuh, tumbuhnya
kerdil hanya sekitar satu meter. Nah, karena
faktor-faktor tersebut akibatnya petani
DOTDOC