Cakrawala Edisi 426 | Page 58

hukum 58 Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, penyidik yang diberi wewenang penyidikan selain PPNS adalah juga Penyidik Polri. Bahkan lewat terobosan hukum yang cukup fenomenal, pada tahun 2000 Pengadilan Negeri Jakarta Utara berani memeriksa dan mengadili perkara BMKT yang disidik oleh Perwira TNI AL yang bukan merupakan penyidik yang berwenang sesuai undang-undang yang berlaku pada saat itu. Bahkan dalam Putusannya Nomor 645/Pid.B/2000/PN Jkt.Ut tanggal 12 Januari 2001 yang telah berkekuatan hukum tetap, Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam amar putusannya “menghukum terdakwa dengan pidana penjara 4 (empat) bulan 20 (dua puluh) hari dan denda Rp 5.000.000,- (lima juta ripiah) serta menyita untuk negara 32.150 (tiga puluh dua ribu seratus lima puluh) buah keramik”. Pertimbangan utama dilakukannya penyidikan oleh Perwira Penyidik TNI AL atas perkara pidana BMKT saat itu adalah ketiadaan PPNS yang ditunjuk berdasarkan undang-undang, kondisi yang praktis hampir sama dengan saat ini. Selain dari itu, meski secara hukum masih menjadi perdebatan, apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 14 TZMKO Stbl. 1939 Nomor 442 maka sesungguhnya TNI AL mempunyai kewenangan mengusut (menyidik) setiap pelanggaran atas ketentuan larangan yang terjadi di perairan Indonesia. Terobosan seperti ini perlu dipertimbangkan lagi guna mengatasi kebekuan dalam penegakan hukum atas ilegal BMKT. Selain itu, perubahan undang-undang ternyata juga membawa dampak lain yang luput dari antisipasi, yaitu PANNAS BMKT menjadi mati suri. Hal ini terutama disebabkan oleh karena perubahan undang-undang telah membawa dampak perubahan leading sector atas institusinya yaitu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan beralih ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun PANNAS BMKT secara yuridis masih diakui keberadaannya oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2010, tetapi tetap saja dalam operasionalisasinya tidak dapat berjalan dengan baik. Ke depan perlu terobosan hukum untuk membenahi PANNAS BMKT menjadi suatu institusi permanen yang solid dan mampu memenuhi tuntutan tugasnya akan pengamanan BMKT. Adanya perubahan organisasi Bakorkamla menjadi Bakamla berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan organisasi pengawas BMKT. Perlu Terobosan Hukum Hal normatif yang dapat dilakukan adalah melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 dengan menambah kewenangan aparat penyidik. Perubahan terutama dapat dilakukan terhadap ketentuan pasal 100 yang memberikan kewenangan penyidikan hanya kepada PPNS yang lingkup tugas tanggung jawabnya di bidang Pelestarian Cagar Budaya, dengan menambahkan kewenangan penyidikan kepada penyidik lain yaitu penyidik Polri dan penyidik Perwira TNI AL. Hal ini didasarkan pada kenyataan akan terbatasnya jumlah PPNS dan praktis keberadaan mereka secara faktual belum eksis, dalam arti belum pernah melakukan penyidikan dan pemberkasan terhadap ilegal BMKT. Pada sisi lain, penyidik Polri dan penyidik Perwira TNI AL jumlahnya cukup banyak serta dari segi kemampuan sumber daya manusia telah teruji sebagai Penyidik terhadap berbagai jenis tindak pidana tertentu di laut. Perubahan undang-undang memerlukan waktu yang relatif lama. Oleh karena itu sambil menunggu perubahan undang-undang, perlu dilakukan upaya terobosan hukum untuk memecah kebuntuan hukum yang biasanya selalu bersifat legalistik formal, kaku, serta teks book sesuai bunyi undang-undang. Penegakan hukum selalu berasaskan pada tiga hal, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Idealnya ketiga asas tersebut tercantum secara selaras, seimbang, dan serasi dalam setiap kegiatan penegakan hukum. Tetapi dalam keadaan tertentu, dapat saja salah satu asas tersebut yang dikedepankan dengan mengesampingkan asas yang lain.