hukum
58
Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, penyidik yang
diberi wewenang penyidikan selain PPNS adalah juga
Penyidik Polri. Bahkan lewat terobosan hukum yang cukup
fenomenal, pada tahun 2000 Pengadilan Negeri Jakarta
Utara berani memeriksa dan mengadili perkara BMKT
yang disidik oleh Perwira TNI AL yang bukan merupakan
penyidik yang berwenang sesuai undang-undang yang
berlaku pada saat itu. Bahkan dalam Putusannya Nomor
645/Pid.B/2000/PN Jkt.Ut tanggal 12 Januari 2001 yang
telah berkekuatan hukum tetap, Pengadilan Negeri Jakarta
Utara dalam amar putusannya “menghukum terdakwa
dengan pidana penjara 4 (empat) bulan 20 (dua puluh) hari
dan denda Rp 5.000.000,- (lima juta ripiah) serta menyita
untuk negara 32.150 (tiga puluh dua ribu seratus lima
puluh) buah keramik”.
Pertimbangan utama dilakukannya penyidikan oleh
Perwira Penyidik TNI AL atas perkara pidana BMKT
saat itu adalah ketiadaan PPNS yang ditunjuk berdasarkan
undang-undang, kondisi yang praktis hampir sama dengan
saat ini. Selain dari itu, meski secara hukum masih menjadi
perdebatan, apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 14
TZMKO Stbl. 1939 Nomor 442 maka sesungguhnya TNI
AL mempunyai kewenangan mengusut (menyidik) setiap
pelanggaran atas ketentuan larangan yang terjadi di perairan
Indonesia. Terobosan seperti ini perlu dipertimbangkan
lagi guna mengatasi kebekuan dalam penegakan hukum
atas ilegal BMKT.
Selain itu, perubahan undang-undang ternyata juga
membawa dampak lain yang luput dari antisipasi, yaitu
PANNAS BMKT menjadi mati suri. Hal ini terutama
disebabkan oleh karena perubahan undang-undang
telah membawa dampak perubahan leading sector
atas institusinya yaitu dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan beralih ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Meskipun PANNAS BMKT secara
yuridis masih diakui keberadaannya oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2010, tetapi tetap saja
dalam operasionalisasinya tidak dapat berjalan
dengan baik. Ke depan perlu terobosan hukum
untuk membenahi PANNAS BMKT menjadi suatu
institusi permanen yang solid dan mampu memenuhi
tuntutan tugasnya
akan pengamanan
BMKT. Adanya
perubahan
organisasi
Bakorkamla
menjadi Bakamla
berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dapat dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan organisasi pengawas
BMKT.
Perlu Terobosan Hukum
Hal normatif yang dapat dilakukan adalah melakukan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 dengan menambah kewenangan aparat penyidik.
Perubahan terutama dapat dilakukan terhadap ketentuan
pasal 100 yang memberikan kewenangan penyidikan hanya
kepada PPNS yang lingkup tugas tanggung jawabnya di
bidang Pelestarian Cagar Budaya, dengan menambahkan
kewenangan penyidikan kepada penyidik lain yaitu penyidik
Polri dan penyidik Perwira TNI AL. Hal ini didasarkan
pada kenyataan akan terbatasnya jumlah PPNS dan praktis
keberadaan mereka secara faktual belum eksis, dalam arti
belum pernah melakukan penyidikan dan pemberkasan
terhadap ilegal BMKT. Pada sisi lain, penyidik Polri dan
penyidik Perwira TNI AL jumlahnya cukup banyak serta
dari segi kemampuan sumber daya manusia telah teruji
sebagai Penyidik terhadap berbagai jenis tindak pidana
tertentu di laut.
Perubahan undang-undang memerlukan waktu yang
relatif lama. Oleh karena itu sambil menunggu perubahan
undang-undang, perlu dilakukan upaya terobosan hukum
untuk memecah kebuntuan hukum yang biasanya selalu
bersifat legalistik formal, kaku, serta teks book sesuai bunyi
undang-undang. Penegakan hukum selalu berasaskan pada
tiga hal, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Idealnya ketiga asas tersebut tercantum secara selaras,
seimbang, dan serasi dalam setiap kegiatan penegakan
hukum. Tetapi dalam keadaan tertentu, dapat saja salah satu
asas tersebut yang dikedepankan dengan mengesampingkan
asas yang lain.