Cakrawala Edisi 426 | Page 57

P osisi geografis nusantara pada persimpangan dua samudra berikut berbagai potensinya telah menjadi wilayah maritim yang dikenal di dunia. Berbagai dokumen sejarah telah menyatakan sejak sekitar abad 5 hingga 19 pada beberapa titik di perairan Indonesia, telah menjadi kuburan bagi banyak kapal yang tenggelam, baik kapal dagang Tiongkok dari berbagai dinasti, kapal ekspedisi penaklukan dari kerajaan Eropa hingga kedatangan VOC. Kapal-kapal tenggelam tersebut berikut muatannya serta bukti artefak yang ditemukan, selain dapat dimanfaatkan sebagai sejarah peradaban umat manusia, juga berpotensi menjadi harta karun bagi negara serta sebagai salah satu sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang cukup bernilai. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa terdapat sekitar 493 titik kapal karam berisi BMKT yang tersebar di seluruh perairan Indonesia. Sedangkan UNESCO menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 3.000 titik kapal tenggelam yang berisi BMKT di perairan Indonesia. Dari jumlah titik kapal karam yang diduga mengandung BMKT yang begitu melimpah, tentu akan mengundang berbagai persoalan baik terkait pengawasan, pengamanan serta penindakan terhadap kegiatan pengangkatan BMKT yang melanggar hukum. Nilai Ekonomis BMKT BMKT selain mempunyai nilai seni budaya adiluhung, juga mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Sebagai contoh, pada surat kabar Jakarta Post tertanggal 30 April 2010 pada halaman 2, dengan mengutip pernyataan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso, menyebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan pada masa itu Fadel Muhammad pernah akan melelang artefak dari BMKT yang tenggelam di perairan Cirebon senilai 10.000.000 (sepuluh juta) Dollar AS. Adapun rincian kasar dan artefak tersebut berupa 271.381 (dua ratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus delapan puluh satu) keping artefak berharga. Pengangkatan bekerja sama dengan seorang kolektor asing dan sekaligus terduga penjarah BMKT bernama Michaele Hetcher, yang diduga sebelumnya telah melakukan pencurian serupa pada 2.306 (dua ribu tiga ratus enam) artefak BMKT dan menjualnya ke pasar gelap dan investor asing. Dengan data UNESCO yang menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 3.000 (tiga ribu) titik kapal tenggelam yang berisi BMKT di perairan Indonesia, maka dasar laut perairan Indonesia mengandung kekayaan begitu melimpah, yang apabila dikelola dengan baik dan benar dapat menjadi salah satu alternatif potensi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Sayangnya realitas tersebut belum digali dan dimanfaatkan dengan baik oleh negara, akibat berbagai persoalan terkait pengawasan, pengamanan serta penindakan terhadap kegiatan pengangkatan BMKT ilegal belum dapat berjalan optimal. Maraknya Kegiatan Ilegal BMKT Beberapa kasus pengangkatan BMKT ilegal pernah terjadi di Selat Gelasa Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2000, di Perairan Cirebon pada tahun 2010, serta pada akhir-akhir ini marak terjadi di perairan Karang Heluputan dan Mapor, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Dalam kasus terakhir yang terjadi di Kepulauan Riau, TNI AL berhasil menemukan beberapa BMKT yang tersimpan di gudang dan menangkap pelaku yang sedang melaksanakan pengangkatan BMKT di laut. Pelaku yang berhasil ditangkap, setelah diserahkan kepada penyidik yang berwenang proses hukum tidak dapat dilakukan karena ketiadaan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Realitas ini mengindikasikan lemahnya pengawasan di lapangan dan penegakan hukum oleh negara sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (PANNAS BMKT) sesuai Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang telah dicabut oleh Undang-Undan