sebut sebagai pasca-literasi 11 . Seperti halnya tradisi lisan, fenomena pasca-literasi juga
menghasilkan masyarakat yang cenderung reaksioner. Bandingkan fenomena ini
dengan budaya literasi dimana ketika seseorang membaca koran, maka akan tercipta
sebuah pembacaan, perenungan, dan dialog kritis terhadap isi dari koran tersebut
karena ruang respon tidak tersedia secara langsung. Bila ingin merespon, maka
seseorang perlu mengirim surat kepada redaktur koran, dan dalam proses pembuatan
surat itu, tentu pengolahan informasi sudah terjadi cukup matang dan tercipta jeda
waktu sehingga emosi dan reaksi sesaat telah terjinakkan.
Semua fenomena tersebut tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, meski memang
sebuah konsekuensi logis dari keadaan. Kita tidak bisa menyalahkan pasivitas
warganet dalam menerima dan merespon informasi yang mereka dapatkan sebagai
implikasi langsung dari berkembangnya teknologi di tengah masyarakat yang belum
siap menerimanya. Salah satu syarat penting yang perlu dimiliki untuk menanggapi
gelombang teknologi digital yang semakin canggih adalah kemampuan literasi yang
kuat sehingga bisa mengimbangi efek ‘kelisanan baru’ (neo-orality) yang muncul di
era pasca-literasi ini. Jika melihat secara spesifik pada masyarakat Indonesia, basis
budaya yang berasal dari tradisi lisan 12 membuat Indonesia cukup sukar untuk
bertransformasi secara total menjadi masyarakat literasi, apalagi mengingat literasi
itu sendiri dibawa dari luar nusantara menicptakan clash budaya dengan apa yang
mengakar dalam kehidupan bermasyarakat lokal di Indonesia. Hal ini menyebabkan
setelah lebih dari setengah abad merdeka pun, masyarakat Indonesia pada dasarnya
masih memiliki jejak kelisanan yang masih kental, terlihat bagaimana ketokohan
menjadi simbol penting di masyarakat, bagaimana interaksi menjadi hal krusial
dalam berhubungan sosial, atau bagaimana tribalisme 13 masih sering memicu konflik
antar-label. Jelas kemudian, bila era digital memicu ‘kelisanan baru’ untuk lahir
kembali, maka masyarakat Indonesia akan dengan sangat jelas memperlihatkannya.
Fenomena yang terjadi di dunia maya belakangan ini merupakan efek dari tradisi
spontan-reaksioner dari kelisanan Indonesia yang teramplifikasi dengan sangat baik
oleh teknologi digital.
Bagaimana menanggapinya? Ini masalah yang sesungguhnya cukup kompleks
untuk bisa didapatkan solusi langsung. Satu-satunya yang terpikirkan oleh penulis
adalah bagaimana caranya menyebarluaskan kemampuan literasi ke sebanyak
mungkin masyarakat sehingga kedewasaan dalam merespon informasi pun
Era pasca-literasi merupakan era ketika ciri-ciri budaya literasi mulai luntur dan digantikan dengan
muncul kembalinya beberapa fenomena tradisi kelisanan seperti spontanitas reaksi. Lebih lanjut, lihat
[2].
12 Budaya literasi baru masuk ke Indonesia melalui kolonialisme Belanda yang memungkinkan
masyarakat pribumi berinteraksi dengan tulisan, terutama via politik balas-budi atau politik etis.
13 Paradigma yang memandang diri sebagai bagian dari kelompok ketimbang individu. Tribalisme
merupakan warisan kelisanan, yang membuat orang lebih fokus pada label ketimbang diri.
Individualisme sendiri memang muncul setelah budaya literasi berkembang.
11
47