Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 48

sebut sebagai pasca-literasi 11 . Seperti halnya tradisi lisan, fenomena pasca-literasi juga menghasilkan masyarakat yang cenderung reaksioner. Bandingkan fenomena ini dengan budaya literasi dimana ketika seseorang membaca koran, maka akan tercipta sebuah pembacaan, perenungan, dan dialog kritis terhadap isi dari koran tersebut karena ruang respon tidak tersedia secara langsung. Bila ingin merespon, maka seseorang perlu mengirim surat kepada redaktur koran, dan dalam proses pembuatan surat itu, tentu pengolahan informasi sudah terjadi cukup matang dan tercipta jeda waktu sehingga emosi dan reaksi sesaat telah terjinakkan. Semua fenomena tersebut tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, meski memang sebuah konsekuensi logis dari keadaan. Kita tidak bisa menyalahkan pasivitas warganet dalam menerima dan merespon informasi yang mereka dapatkan sebagai implikasi langsung dari berkembangnya teknologi di tengah masyarakat yang belum siap menerimanya. Salah satu syarat penting yang perlu dimiliki untuk menanggapi gelombang teknologi digital yang semakin canggih adalah kemampuan literasi yang kuat sehingga bisa mengimbangi efek ‘kelisanan baru’ (neo-orality) yang muncul di era pasca-literasi ini. Jika melihat secara spesifik pada masyarakat Indonesia, basis budaya yang berasal dari tradisi lisan 12 membuat Indonesia cukup sukar untuk bertransformasi secara total menjadi masyarakat literasi, apalagi mengingat literasi itu sendiri dibawa dari luar nusantara menicptakan clash budaya dengan apa yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat lokal di Indonesia. Hal ini menyebabkan setelah lebih dari setengah abad merdeka pun, masyarakat Indonesia pada dasarnya masih memiliki jejak kelisanan yang masih kental, terlihat bagaimana ketokohan menjadi simbol penting di masyarakat, bagaimana interaksi menjadi hal krusial dalam berhubungan sosial, atau bagaimana tribalisme 13 masih sering memicu konflik antar-label. Jelas kemudian, bila era digital memicu ‘kelisanan baru’ untuk lahir kembali, maka masyarakat Indonesia akan dengan sangat jelas memperlihatkannya. Fenomena yang terjadi di dunia maya belakangan ini merupakan efek dari tradisi spontan-reaksioner dari kelisanan Indonesia yang teramplifikasi dengan sangat baik oleh teknologi digital. Bagaimana menanggapinya? Ini masalah yang sesungguhnya cukup kompleks untuk bisa didapatkan solusi langsung. Satu-satunya yang terpikirkan oleh penulis adalah bagaimana caranya menyebarluaskan kemampuan literasi ke sebanyak mungkin masyarakat sehingga kedewasaan dalam merespon informasi pun                                                              Era pasca-literasi merupakan era ketika ciri-ciri budaya literasi mulai luntur dan digantikan dengan muncul kembalinya beberapa fenomena tradisi kelisanan seperti spontanitas reaksi. Lebih lanjut, lihat [2]. 12 Budaya literasi baru masuk ke Indonesia melalui kolonialisme Belanda yang memungkinkan masyarakat pribumi berinteraksi dengan tulisan, terutama via politik balas-budi atau politik etis. 13 Paradigma yang memandang diri sebagai bagian dari kelompok ketimbang individu. Tribalisme merupakan warisan kelisanan, yang membuat orang lebih fokus pada label ketimbang diri. Individualisme sendiri memang muncul setelah budaya literasi berkembang. 11 47