terbentuk dengan sendirinya. Budaya literasi menjamin proses menciptakan jarak
antara diri dengan teks untuk menghasilkan perenungan dan dialog kritis terhadap
isi teks sebelum memberi respon apapun, suatu proses yang dalam islam sering
dikenal dengan tabayyun. Membudayakan hal seperti ini di masyarakat Indonesia
bukan hal yang mudah, apalagi bila sistem pendidikan tidak mendukung demikian.
Setiap anak lebih sering disuapi informasi secara pasif tanpa membiarkannya mencari
secara kritis. Sayang, penyuapan informasi di sekolah adalah akar dari pasivitas
seorang anak dalam menerima informasi ketika dewasa. Akan tetapi setiap
perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, maka dengan permasalahan
sekompleks ini, alangkah lebih baik untuk berusaha dari yang kecil terlebih dahulu:
selalu membaca segala sesuatu secara kritis.
(PHX)
48