Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 46

Era Digital Bagaimana dengan era digital? Revolusi era informasi melalui dominasi digital cukup mengubah banyak skema yang terjadi pada masa sebelumnya. Banyak yang bisa ditinjau mengenai perubahan-perubahan dan dampak-dampak apa yang ditimbulkan era digital. Penulis telah memaparkan beberapa di antaranya dalam [5]. Salah satu ciri spesifik dari dunia digital adalah runtuhnya otoritas sebagai akibat dari desentralisasi penguasaan informasi untuk kembali kepada setiap individu. Dengan berkembangnya internet yang terbuka bersama turunan-turunannya, seperti blog dan sosial media, otoritas produksi informasi jatuh hingga ke tangan individu. Siapapun bisa membuat dan mendistribusikan informasi. Keterbukaan internet melebarkan ruang seluas-luasnya bagi setiap manusia, selama ia cukup paham cara menggunakannya, untuk memilih secara spesifik apa yang ingin ia ketahui dan apa yang ingin ia sampaikan. Dalam era digital, siapapun adalah produsen, distributor, sekaligus konsumen informasi. Institusi media akan semakin kehilangan otoritasnya dalam menguasai informasi dan masyarakat memiliki lebih banyak kebebasan untuk merespon informasi. Keadaan ini terkesan bagus, tapi apakah demikian? Kita akan ulas satu-satu. Pertama, jika otoritas kepenulisan jatuh ke tangan individu, justru makna suatu karya kepenulisan akan semakin terkikis. Otoritas kepenulisan ada bukan tanpa sebab. Ketika terjadi suatu gempa dan kita ingin mengetahui detailnya, tentu yang lebih memiliki hak untuk menyampaikan informasi itu adalah peneliti BMKG atau Geofisikawan. Ketika kita ingin mengetahui detail informasi terkait vaksin, tentu yang memiliki hak untuk menyampaikan informasi itu adalah para ahli di bidang farmasi, biologi, maupun kimia. Otoritas ada untuk menjamin keabsahan suatu informasi. Jaminan ini bisa datang dari pengalaman, status, karya, maupun predikat yang dimiliki seseorang atau bisa juga datang dari akuntabilitas penjelasan, metodologi, maupun referensi yang diberikan oleh seseorang tersebut. Tentu akan meragukan bila seorang agamawan berbicara mengenai fisika kuantum tanpa memberikan sedikitpun penjelasan ataupun referensi yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan, atau juga lebih meragukan lagi bila suatu artikel mengenai teori evolusi menyebar begitu saja tanpa ada kejelasan identitas penulisnya. Ini yang sering terjadi saat ini dimana berbagai tulisan menyebar melalui Whatsapp, Telegram, atau Facebook dengan anonimitas penulis dan sumber. Jatuhnya otoritas ini juga memang memicu banyaknya anonimitas yang sukar dipertanggungjawabkan. Setiap orang bisa menciptakan identitas palsu atau bersembunyi dibalik ‘kerumunan’ 10 untuk menyebarkan informasi apapun.                                                              Kerumunan yang penulis maksud di sini berada dalam konteks suatu post tertentu dengan komentar yang begitu banyak. Beberapa post di Internet, baik di Instagram, Youtube, Facebook, Tweeter, maupun media-media lainnya terkadang memiliki komentar ribuan hingga menciptakan crowd yang bisa 10 45