Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 35

neurosains, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua pengetahuan itu, semakin menciptakan gap yang sangat besar dengan pengguna dan masyarakat awam pada umumnya. Pengetahuan terasingkan dan terelitisasi hanya oleh beberapa orang. Kompleksitas meningkat tapi memusat, di sisi lain secara general kompleksitas di tempat lain pada dasarnya menurun. Apa artinya semua itu? Jika semua pemaparan penulis di atas benar, maka kita hanya punya 4 pilihan. Dari 4 pilihan itu, 3 di antaranya penulis adopsi dari pengelompokan gerakan posmodernisme yang dipaparkan Sugiharto. Pilihan pertama, kita bisa memang secara sengaja kembali ke pola berpikir pra-modern atau pra-literasi, namun mengamplifikasi dan mengoptimalkannya sehingga kita bisa mentransendensi diri untuk menjadi lebih holistik. Kita bisa menjadi manusia utuh yang merupakan hibrida pola pikir rasionalisme literasi dengan kebijaksanaan kelisanan. Banyak pemikir yang telah mengarah ke sana, salah satunya adalah fisikawan yang penulis telah sebutkan sebelumnya, yakni Fritjof Capra. Ia mencoba menggabungkan konsep fisika kuantum dengan mistisme timur 43 . Dalam hal ini, literasi akan memang sengaja ditinggalkan, untuk kemudian lebih mencari sumber pengetahuan lain yang lebih esoteris dan mistis melalui pengalaman spiritual. Mungkin, slogan yang tepat untuk pilihan ini adalah apa yang sering penulis ungkapkan juga pada beberapa tulisan: Berhentilah membaca, berlatihlah praktik, berupayalah mengalami. Pilihan kedua merupakan ekstrim yang berlawanan dari yang pertama, yakni memilih untuk secara total menggeluti modernisme, kemajuan teknologi, dan neo- literasi yang berkembang bersamanya. Belajarlah machine learning, pelajari semua aspek teknologi, geluti big data, pahami sistem kerja internet, maksimalkan pembelajaran via online course. Orang yang berada di pilihan ini memang memilih untuk berlari bersama arus ketimbang secara skeptis menolak atau mempertanyakannya. Kemajuan teknologi sudah ada di depan mata. Either run or left behind. Semua efek samping, permasalahan etis, dan dampak sosio-ekologis yang muncul dari teknologi hanyalah konsekuensi dari sifat manusia, dan kita bisa memberikan solusi dari semua permasalahan itu dengan teknologi yang lebih baru dan lebih canggih. Daripada berada di salah satu kutub ekstrim, mungkin akan lebih baik untuk menciptakan dialog dan menjembatani keduanya. Itulah yang menjadi pilihan kita yang ketiga. Wilayah ini cukup jarang diisi. Karena dari pengamatan kasar penulis, selalu terlihat dua kelompok orang: mereka yang bergelut di ranah filosofis dan memberikan kritik terhadap kemajuan teknologi, namun tidak memahami apa-apa terkait apa yang ada di dalam teknologi itu sendiri, atau mereka yang bergelut di                                                              43 Kesejajaran ini Capra paparkan di [11]. 34