neurosains, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua pengetahuan itu, semakin
menciptakan gap yang sangat besar dengan pengguna dan masyarakat awam pada
umumnya. Pengetahuan terasingkan dan terelitisasi hanya oleh beberapa orang.
Kompleksitas meningkat tapi memusat, di sisi lain secara general kompleksitas di
tempat lain pada dasarnya menurun.
Apa artinya semua itu? Jika semua pemaparan penulis di atas benar, maka kita
hanya punya 4 pilihan. Dari 4 pilihan itu, 3 di antaranya penulis adopsi dari
pengelompokan gerakan posmodernisme yang dipaparkan Sugiharto. Pilihan
pertama, kita bisa memang secara sengaja kembali ke pola berpikir pra-modern atau
pra-literasi, namun mengamplifikasi dan mengoptimalkannya sehingga kita bisa
mentransendensi diri untuk menjadi lebih holistik. Kita bisa menjadi manusia utuh
yang merupakan hibrida pola pikir rasionalisme literasi dengan kebijaksanaan
kelisanan. Banyak pemikir yang telah mengarah ke sana, salah satunya adalah
fisikawan yang penulis telah sebutkan sebelumnya, yakni Fritjof Capra. Ia mencoba
menggabungkan konsep fisika kuantum dengan mistisme timur 43 . Dalam hal ini,
literasi akan memang sengaja ditinggalkan, untuk kemudian lebih mencari sumber
pengetahuan lain yang lebih esoteris dan mistis melalui pengalaman spiritual.
Mungkin, slogan yang tepat untuk pilihan ini adalah apa yang sering penulis
ungkapkan juga pada beberapa tulisan: Berhentilah membaca, berlatihlah praktik,
berupayalah mengalami.
Pilihan kedua merupakan ekstrim yang berlawanan dari yang pertama, yakni
memilih untuk secara total menggeluti modernisme, kemajuan teknologi, dan neo-
literasi yang berkembang bersamanya. Belajarlah machine learning, pelajari semua
aspek teknologi, geluti big data, pahami sistem kerja internet, maksimalkan
pembelajaran via online course. Orang yang berada di pilihan ini memang memilih
untuk berlari bersama arus ketimbang secara skeptis menolak atau
mempertanyakannya. Kemajuan teknologi sudah ada di depan mata. Either run or left
behind. Semua efek samping, permasalahan etis, dan dampak sosio-ekologis yang
muncul dari teknologi hanyalah konsekuensi dari sifat manusia, dan kita bisa
memberikan solusi dari semua permasalahan itu dengan teknologi yang lebih baru
dan lebih canggih.
Daripada berada di salah satu kutub ekstrim, mungkin akan lebih baik untuk
menciptakan dialog dan menjembatani keduanya. Itulah yang menjadi pilihan kita
yang ketiga. Wilayah ini cukup jarang diisi. Karena dari pengamatan kasar penulis,
selalu terlihat dua kelompok orang: mereka yang bergelut di ranah filosofis dan
memberikan kritik terhadap kemajuan teknologi, namun tidak memahami apa-apa
terkait apa yang ada di dalam teknologi itu sendiri, atau mereka yang bergelut di
43
Kesejajaran ini Capra paparkan di [11].
34