Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 36

ranah teknis, memahami seluk-beluk teknologi, namun tidak pernah merefleksi apaapa terkait perkembangan teknologi itu sendiri. Tentu ada kelompok orang lain lagi, yang justru merupakan kelompok mayoritas, yang akan penulis paparkan sebagai pilihan keempat setelah ini. Memilih untuk berada di tengah dan menjembatani dua kutub bukanlah hal yang mudah. Kita harus secara total mempelajari dua ranah sekaligus, ranah filosofis dan ranah teknis. Hal ini bukan berarti tidak mungkin, terutama untuk yang masih muda dan lebih akrab dengan teknologi. Pada pilihan ini, muncul istilah transliterasi sebagai jawaban sementara atas solusi permasalahan yang muncul dari fenomena pasca-literasi. Transliterasi merupakan generalisasi literasi sebagai pembacaan lintas media dan bersifat kontekstual. Transliterasi berusaha berdialog secara lebih kritis terhadap arus informasi yang muncul tak terkendali.
Pilihan keempat, pilihan yang tidak direkomendasikan, adalah mendekonstruksi habis literasi hingga pada titik ekstrimnya berujung pada nihilisme. Dekonstruksi ini sesungguhnya telah terjadi secara tak sadar dengan‘ pasrah’ dan pasifnya kita pada media sosial, TV, dan teknologi pembunuh literasi lainnya. Ironisnya, justru pilihan ini adalah pilihan yang dipilih mayoritas orang. Membaca buku adalah nihil bila kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan secara lebih praktis melalui Youtube atau artikel singkat di berbagai blog. Cukup puaslah dengan informasi yang berseliweran melalui Whatsapp, LINE, Telegram, Instagram, dan nikmati hidup ini apa adanya. Mau seperti ini? Itu pilihan. Penulis tidak mengatakan ini buruk karena keadaan itu sudah berada di depan mata untuk bisa dihindari. Dalam pandangan pesimis saya, fenomena yang terjadi seperti itu sudah merupakan efek natural dari adanya teknologi 44. Penulis hanya tidak merekomendasikannya.
Bila dirangkum, pilihan pertama bisa disebut konservatif, pilihan kedua bisa disebut agresif, pilihan ketiga bisa disebut moderat, dan pilihan keempat bisa disebut pasif. Semua ini tentu adalah pilihan. Apa yang terjadi di masa depan bergantung dari dinamika 4 pilihan ini, sehingga masih terbuka beragam kemungkinan akan apa yang terjadi kelak. Bila kita pesimis, mungkin pilihan ke-2 dan ke-4 akan dominan dan lahirlah dunia seperti serial film The Matrix. Bila mau agak sedikit optimis, mungkin pilihan ke-2 dan ke-3 yang dominan dan apa yang terjadi di film Transendence bisa terjadi. Analisis detail mengenai dinamika keempat pilihan ini dan semua kemungkinan masa depan yang dibentuknya mungkin bisa dilakukan lebih lanjut di tulisan lain. Akan tetapi, sampai titik ini, penulis hanya ingin menjelaskan bahwa pasca-literasi masihlah merupakan blackbox, era gelap di masa depan yang masih belum bisa kita pastikan seperti apa. Threshold selanjutnya untuk mengakselerasi peningkatan kompleksitas masih mungkin untuk dilalui, tentu dengan cost effect yang penulis jelaskan di atas.
44 penjelasan lebih detail, lih. [ 13 ]
35