atau “kelompok B.” Dampak buruknya adalah, friksi antar kelompok jadi sangat
mudah terjadi. Ini kemudian diperparah lagi oleh mentalitas virtual dan daya
reaksioner dari kelisanan sekunder ala hiperteks dan interkoneksi internet.
Seberapa miripnya semua fenomena di internet itu dengan kelisanan, mau tidak
mau, informasi yang tersampaikan via internet pada titik sekarang ini (entah di masa
depan) masilah merupakan potongan dari realitas. Kita hanya bisa berinteraksi
melalui suara yang dituliskan, alias chat, melalui suara sungguhan (voice call), atau
melalui suara plus visual dari lawan bicara (video call). Interaksi ini, memang seperti
mengaktivasi hampir semua aspek kelisanan, kecuali keutuhan dan
kemenyeluruhannya. Sayangnya, keutuhan dan kemenyuluruhan merupakan aspek
penting dalam kelisanan yang sangat kontras dengan cara pikir literasi yang begitu
analitis dan terpisah-pisah. Kondisi ini, kondisi dimana literasi seakan memunculkan
kecenderungan untuk ‘kembali’ ke kelisanan namun dalam bentuk yang lebih baru,
yang mungkin pantas kita namakan pasca-literasi.
Dough Johnson, seorang pengajar dan pengamat teknologi, dalam sebuah
artikel 36 berpendapat hal serupa terkait era hiperteks ini. Ia mengatakan “but I would
argue that post literacy is a return to more natural forms of multisensory communication—
speaking, storytelling, dialogue, debate, and dramatization. It is just now that these modes can
be captured and stored digitally as easily as writing. Information, emotion, and persuasion
may be even more powerfully conveyed in multimedia formats.” Kita seakan return, kembali,
ke masa kelisanan, masa dimana komunikasi bersifat multisensory. Fowler bahkan
menyebut era hiperteks ini sebagai Back to the Future, mengikuti judul sebuah film
mengenai perjalanan lintas waktu. Pasca-Literasi seakan mengambil kembali aspek-
aspek kelisanan, seperti emosi, persuasi, dan verbomotorik.
Apakah ini buruk? Akan menjadi seperti apa kelak fenomena ini di masa depan?
Dan, Bagaimana menyikapinya? Semua pertanyaan itu bukanlah hal yang mudah
untuk dijawab, karena semua relatif bergantung bagaimana kita melihat fenomena
ini.
Melampaui Masa Depan
Fenomena terkikisnya literasi dalam berbagai segi, baik dari ranah praksis di
wilayah penerbitan, kepenulisan, dan perbukuan, hingga ke ranah abstrak di wilayah
kebiasaan, budaya, paradigma, dan pola pikir, bisa dikatakan berakar dari
kecenderungan kembali ke ‘kelisanan’. Jika begitu, pertanyaannya pun berganti
menjadi, apa sesungguhnya yang menyebabkan kecenderungan itu? Apakah semua
murni dari perkembangan teknologi? Penulis rasa mengingat pembahasan mengenai
36
Lihat [13]
30