Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 31

atau “kelompok B.” Dampak buruknya adalah, friksi antar kelompok jadi sangat mudah terjadi. Ini kemudian diperparah lagi oleh mentalitas virtual dan daya reaksioner dari kelisanan sekunder ala hiperteks dan interkoneksi internet. Seberapa miripnya semua fenomena di internet itu dengan kelisanan, mau tidak mau, informasi yang tersampaikan via internet pada titik sekarang ini (entah di masa depan) masilah merupakan potongan dari realitas. Kita hanya bisa berinteraksi melalui suara yang dituliskan, alias chat, melalui suara sungguhan (voice call), atau melalui suara plus visual dari lawan bicara (video call). Interaksi ini, memang seperti mengaktivasi hampir semua aspek kelisanan, kecuali keutuhan dan kemenyeluruhannya. Sayangnya, keutuhan dan kemenyuluruhan merupakan aspek penting dalam kelisanan yang sangat kontras dengan cara pikir literasi yang begitu analitis dan terpisah-pisah. Kondisi ini, kondisi dimana literasi seakan memunculkan kecenderungan untuk ‘kembali’ ke kelisanan namun dalam bentuk yang lebih baru, yang mungkin pantas kita namakan pasca-literasi. Dough Johnson, seorang pengajar dan pengamat teknologi, dalam sebuah artikel 36 berpendapat hal serupa terkait era hiperteks ini. Ia mengatakan “but I would argue that post literacy is a return to more natural forms of multisensory communication— speaking, storytelling, dialogue, debate, and dramatization. It is just now that these modes can be captured and stored digitally as easily as writing. Information, emotion, and persuasion may be even more powerfully conveyed in multimedia formats.” Kita seakan return, kembali, ke masa kelisanan, masa dimana komunikasi bersifat multisensory. Fowler bahkan menyebut era hiperteks ini sebagai Back to the Future, mengikuti judul sebuah film mengenai perjalanan lintas waktu. Pasca-Literasi seakan mengambil kembali aspek- aspek kelisanan, seperti emosi, persuasi, dan verbomotorik. Apakah ini buruk? Akan menjadi seperti apa kelak fenomena ini di masa depan? Dan, Bagaimana menyikapinya? Semua pertanyaan itu bukanlah hal yang mudah untuk dijawab, karena semua relatif bergantung bagaimana kita melihat fenomena ini. Melampaui Masa Depan Fenomena terkikisnya literasi dalam berbagai segi, baik dari ranah praksis di wilayah penerbitan, kepenulisan, dan perbukuan, hingga ke ranah abstrak di wilayah kebiasaan, budaya, paradigma, dan pola pikir, bisa dikatakan berakar dari kecenderungan kembali ke ‘kelisanan’. Jika begitu, pertanyaannya pun berganti menjadi, apa sesungguhnya yang menyebabkan kecenderungan itu? Apakah semua murni dari perkembangan teknologi? Penulis rasa mengingat pembahasan mengenai                                                              36 Lihat [13] 30