Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 29

sebagai latar belakang. TV bahkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian manusia. Orang melihat TV, maka ia melihat dunia. Hal ini mematikan daya pikir literasi yang telah dibangun berabad-abad sejak alfabet mulai diciptakan. Kita semakin tidak bisa reflektif, kritis, dan analitis terhadap dunia. Alih- alih, seperti kelisanan, kita menjadi reaksioner dan bersikap spontan akan apapun yang kita terima. Satu contoh sederhana diperlihatkan ketika awal-awal berkembangnya TV sebagai tren di Amerika Serikat digambarkan oleh Larry Gonick, penulis kartun komunikasi. Pada Oktober 1989 terjadi gempa di California Utara dan Gonick ada di lokasi saat gempa. Ia melihat bahwa kenyataannya hanya sedikit yang rusak, listrik nyala kembali dalam 5 jam, dan toko-toko buka esok harinya. Akan tetapi, jaringan TV menyiarkan tiga tayangan yang sama berulang kali: jalan layang yang runtuh, selain pemukiman yang porak proanda, dan satu jembatan yang rusak. Dengan semua dampak yang ditimbulkan dari adanya TV, memang literasi seperti menemukan saingan. Secara ironis, saingan ini justru bersifat seperti kelisanan. Pada titik ini, barulah penulis bisa sepakat bahwa pantas TV dikatakan sebagai kelisanan sekunder. Sayangnya, TV sesungguhnya hanya awal dari pengikisan besar-besaran dari literasi. Lebih dari itu, internet, bersama semua hiperteks yang disediakannya, berpotensi untuk merevolusi budaya, kebiasaan, dan cara berpikir orang hingga tahap yang mungkin bisa sama totalnya dengan revolusi literasi. Kelisanan sekunder tidak berhenti pada efek reaksioner yang dihasilkan oleh TV. Karena untungnya, reaksi yang bisa diberikan terhadap TV masih bersifat terbatas. Orang yang jengkel dengan penyiar berita tidak bisa tiba-tiba membentak penyiar tersebut. TV masih bersifat satu arah, ia bukanlah kelisanan sekunder yang sempurna. Selain itu, TV masih berjarak dengan penonton TV, dalam artian, refleksi kritis terhadap tontonan pun masih mungkin untuk dilakukan. Berita buruknya, kepincangan hiperteks ala TV disempurnakan oleh adanya internet yang memungkinkan komunikasi tanpa batas jarak, waktu, maupun media. Internet yang penulis maksud di sini adalah media sosial beserta semua kapabilitasnya untuk menghubungkan semua manusia di bumi. Dalam makalahnya, How the Secondary Orality of the Electronic Age Can Awaken Us to the Primary Orality of Antiquity 31 , Robert M. Fowler menjelaskan beberapa ciri hiperteks yang bisa dilihat sebagai bentuk baru dari kelisanan. Ciri tersebut antara lain bahwa hiperteks melebur antara penulis dan pembaca. Dengan kata lain, siapapun bisa jadi pembaca sekaligus siapapun bisa jadi penulis, ditambah siapapun bisa menyebarkannya. Tidak ada otoritas yang bermain. Seseorang punya pikiran, maka ia bisa langsung menyampaikan itu ke semua orang tanpa melalui editor atau                                                              31 Lihat [8] 28