sebagai latar belakang. TV bahkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan keseharian manusia. Orang melihat TV, maka ia melihat dunia. Hal ini
mematikan daya pikir literasi yang telah dibangun berabad-abad sejak alfabet mulai
diciptakan. Kita semakin tidak bisa reflektif, kritis, dan analitis terhadap dunia. Alih-
alih, seperti kelisanan, kita menjadi reaksioner dan bersikap spontan akan apapun
yang kita terima. Satu contoh sederhana diperlihatkan ketika awal-awal
berkembangnya TV sebagai tren di Amerika Serikat digambarkan oleh Larry Gonick,
penulis kartun komunikasi. Pada Oktober 1989 terjadi gempa di California Utara dan
Gonick ada di lokasi saat gempa. Ia melihat bahwa kenyataannya hanya sedikit yang
rusak, listrik nyala kembali dalam 5 jam, dan toko-toko buka esok harinya. Akan
tetapi, jaringan TV menyiarkan tiga tayangan yang sama berulang kali: jalan layang
yang runtuh, selain pemukiman yang porak proanda, dan satu jembatan yang rusak.
Dengan semua dampak yang ditimbulkan dari adanya TV, memang literasi
seperti menemukan saingan. Secara ironis, saingan ini justru bersifat seperti
kelisanan. Pada titik ini, barulah penulis bisa sepakat bahwa pantas TV dikatakan
sebagai kelisanan sekunder. Sayangnya, TV sesungguhnya hanya awal dari
pengikisan besar-besaran dari literasi. Lebih dari itu, internet, bersama semua
hiperteks yang disediakannya, berpotensi untuk merevolusi budaya, kebiasaan, dan
cara berpikir orang hingga tahap yang mungkin bisa sama totalnya dengan revolusi
literasi.
Kelisanan sekunder tidak berhenti pada efek reaksioner yang dihasilkan oleh
TV. Karena untungnya, reaksi yang bisa diberikan terhadap TV masih bersifat
terbatas. Orang yang jengkel dengan penyiar berita tidak bisa tiba-tiba membentak
penyiar tersebut. TV masih bersifat satu arah, ia bukanlah kelisanan sekunder yang
sempurna. Selain itu, TV masih berjarak dengan penonton TV, dalam artian, refleksi
kritis terhadap tontonan pun masih mungkin untuk dilakukan. Berita buruknya,
kepincangan hiperteks ala TV disempurnakan oleh adanya internet yang
memungkinkan komunikasi tanpa batas jarak, waktu, maupun media. Internet yang
penulis maksud di sini adalah media sosial beserta semua kapabilitasnya untuk
menghubungkan semua manusia di bumi.
Dalam makalahnya, How the Secondary Orality of the Electronic Age Can Awaken
Us to the Primary Orality of Antiquity 31 , Robert M. Fowler menjelaskan beberapa ciri
hiperteks yang bisa dilihat sebagai bentuk baru dari kelisanan. Ciri tersebut antara
lain bahwa hiperteks melebur antara penulis dan pembaca. Dengan kata lain,
siapapun bisa jadi pembaca sekaligus siapapun bisa jadi penulis, ditambah siapapun
bisa menyebarkannya. Tidak ada otoritas yang bermain. Seseorang punya pikiran,
maka ia bisa langsung menyampaikan itu ke semua orang tanpa melalui editor atau
31
Lihat [8]
28