Penulis pribadi pada dasarnya tidak setuju jika TV atau radio dikatakan sebagai
kelisanan sekunder. Aspek literasi pada TV dan radio masih mendominasi ketimbang
aspek kelisananya. Terkait TV sendiri, meskipun ia telah secara lebih luas
menampilkan tidak hanya suara, namun visual, informasi yang tersampaikan masih
lah sekadar informasi yang terpotong dan tercerabut dari konteksnya. Penyiar berita
di TV hanyalah perantara antara penerima informasi dengan pemilik informasi.
Bukan ia lah yang memiliki otoritas terhadap informasi yang disampaikan, melainkan
institusi yang berada di belakangnya. Kalaupun TV mencoba menampilkan beberapa
potongan gambar realitas pun, mau bagaimanapun, itu semua tetaplah hanya
potongan, bukan lah informasi utuh yang menyeluruh ketika kita murni berada
dalam realitas tersebut.
Informasi yang kita terima dalam suatu momen sesungguhnya tidaklah terbatas
pada gambar dan pendengaran. Seluruh sensor kita aktif setiap saat sehingga
pengalaman sesungguhnya merupakan konsep holistik dari semua hal yang mengada
di sekitar kita pada setiap waktu, mulai dari suhu udara, kelembapan, suasana,
kecerahan, hingga suara-suara latar yang mungkin tidak kita sadari seperti kicauan
burung atau gemerisik dedaunan. Semua itu hadir ketika masyarkat tradisi lisan
berkomunikasi. Sedangkan, yang ditampilkan televisi hanyalah potongan realitas.
Belum lagi, potongan realitas itu sifatnya intensional, artinya apa yang terlihat
sesungguhnya tidak sekadar ‘terlihat’, tapi ‘diperlihatkan’. Hal ini akan membawa
kita pada ranah yang lebih kompleks di bidang media studies 27 , dan tulisan ini akan
menjadi sebuah buku jika membahas sampai kesana. Dengan begitu, penulis hanya
ingin menekankan di sini bahwa TV sesungguhnya masih merupakan literasi dimana
teks yang menjadi medium meluas dari hanya aksara menjadi audio dan visual. Ini
yang kemudian penulis sebut sebagai hiperteks.
Yang bisa kita tinjau kemudian adalah mengapa Ong mengatakan bahwa
komunikasi berbasis hiperteks itu merupakan kelisanan sekunder. Ada dua hal yang
menjadi dasar pendapatnya. Ong mengatakan bahwa TV dan radio menciptakan
tribalitas, rasa seakan menjadi bagian dari kelompok, karena suara memusatkan
pendengar dan dengan demikian memunculkan perasaan kelompok yang besar
dengan sesama pendengar. Ini agak sedikit rancu bagi saya, karena justru TV
menciptakan individualitas seperti halnya orang membaca buku. Kita menguasai
medium informasi tersebut. Selayaknya orang bisa memilih untuk membaca buku
sambil tidur, di toilet, atau dengan lambat, orang juga sesungguhnya bisa melakukan
hal yang sama pada TV, apalagi di zaman yang lebih terkini dengan teknologi TV
Studi media merupakan cabang ilmu baru yang secara khusus mengamati dan menganalisis
pemetaan, sejarah, konsep, dan efek dari media dalam berbagai bentuk. Ilmu ini menjadi ilmu yang
cukup berkembang akhir-akhir ini mengingat media dalam era modern telah menjadi portal informasi
paling utama bagi masyarakat.
27
26