Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 27

Penulis pribadi pada dasarnya tidak setuju jika TV atau radio dikatakan sebagai kelisanan sekunder. Aspek literasi pada TV dan radio masih mendominasi ketimbang aspek kelisananya. Terkait TV sendiri, meskipun ia telah secara lebih luas menampilkan tidak hanya suara, namun visual, informasi yang tersampaikan masih lah sekadar informasi yang terpotong dan tercerabut dari konteksnya. Penyiar berita di TV hanyalah perantara antara penerima informasi dengan pemilik informasi. Bukan ia lah yang memiliki otoritas terhadap informasi yang disampaikan, melainkan institusi yang berada di belakangnya. Kalaupun TV mencoba menampilkan beberapa potongan gambar realitas pun, mau bagaimanapun, itu semua tetaplah hanya potongan, bukan lah informasi utuh yang menyeluruh ketika kita murni berada dalam realitas tersebut. Informasi yang kita terima dalam suatu momen sesungguhnya tidaklah terbatas pada gambar dan pendengaran. Seluruh sensor kita aktif setiap saat sehingga pengalaman sesungguhnya merupakan konsep holistik dari semua hal yang mengada di sekitar kita pada setiap waktu, mulai dari suhu udara, kelembapan, suasana, kecerahan, hingga suara-suara latar yang mungkin tidak kita sadari seperti kicauan burung atau gemerisik dedaunan. Semua itu hadir ketika masyarkat tradisi lisan berkomunikasi. Sedangkan, yang ditampilkan televisi hanyalah potongan realitas. Belum lagi, potongan realitas itu sifatnya intensional, artinya apa yang terlihat sesungguhnya tidak sekadar ‘terlihat’, tapi ‘diperlihatkan’. Hal ini akan membawa kita pada ranah yang lebih kompleks di bidang media studies 27 , dan tulisan ini akan menjadi sebuah buku jika membahas sampai kesana. Dengan begitu, penulis hanya ingin menekankan di sini bahwa TV sesungguhnya masih merupakan literasi dimana teks yang menjadi medium meluas dari hanya aksara menjadi audio dan visual. Ini yang kemudian penulis sebut sebagai hiperteks. Yang bisa kita tinjau kemudian adalah mengapa Ong mengatakan bahwa komunikasi berbasis hiperteks itu merupakan kelisanan sekunder. Ada dua hal yang menjadi dasar pendapatnya. Ong mengatakan bahwa TV dan radio menciptakan tribalitas, rasa seakan menjadi bagian dari kelompok, karena suara memusatkan pendengar dan dengan demikian memunculkan perasaan kelompok yang besar dengan sesama pendengar. Ini agak sedikit rancu bagi saya, karena justru TV menciptakan individualitas seperti halnya orang membaca buku. Kita menguasai medium informasi tersebut. Selayaknya orang bisa memilih untuk membaca buku sambil tidur, di toilet, atau dengan lambat, orang juga sesungguhnya bisa melakukan hal yang sama pada TV, apalagi di zaman yang lebih terkini dengan teknologi TV                                                              Studi media merupakan cabang ilmu baru yang secara khusus mengamati dan menganalisis pemetaan, sejarah, konsep, dan efek dari media dalam berbagai bentuk. Ilmu ini menjadi ilmu yang cukup berkembang akhir-akhir ini mengingat media dalam era modern telah menjadi portal informasi paling utama bagi masyarakat. 27 26