pun mencoba menanyakan hal yang lebih bersifat kedirian dengan mengatakan
“Apakah anda puas dengan diri Anda atau apakah Anda ingin berubah?”, yang
dijawab dengan “Akan menyenangkan jika saya punya lebih banyak tanah dan bisa
menanam gandum.” Luria pun menambahkan “Apa kekurangan-kekurangan
Anda?”, yang dijawab dengan “Yah, orang kan berbeda-beda- ada yang tenang,
pemarah, atau kadang-kadang ingatannya payah...”, atau “Kami berperilaku baik—
kalau kami orang jahat, tidak akan ada yang menghargai kami.”
Penelitian Luria di atas menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat lisan
cenderung situasional dan kontekstual. Hal ini pun membuat segala pengetahuan
selalu kembali ke personal, sehingga membuat pertarungan ego dalam masyarakat
literasi lebih langsung dan spontan. Sedangkan, di masyarakat literasi, antara yang
diketahui dan yang mengetahui terpisah. Pola tribalitas 14 , kecendrungan untuk secara
subyektif melihat kelompok, juga terlihat jelas. Individualitas tidak dikenal dalam
masyarakat lisan, karena setiap diri adalah bagian dari suatu hal yang lebih besar.
“Aku” hanyalah konsep yang muncul kemudian hari, ketika subyek bercerai dengan
obyek.
Apa sesungguhnya yang kemudian membuat semua pola pikir lisan yang
dijelaskan di atas berubah total? Dan kapan? Hal ini sesungguhnya masih berada di
wilayah perdebatan. Perjalanan berkembangnya sistem aksara bukanlah perjalanan
singkat, karena menciptakan suatu sistem tanda yang bisa mewakili suara yang
diucap oleh suatu masyarakat bukanlah hal yang mudah. Perubahan radikal akan
sistem aksara terjadi ketika terciptanya alfabet di Yunani pertama kali sebagai
turunan dari aksara Ibrani. Diamond mengatakan bahwa alfabet Romawi (Yunani)
merupakan produk akhir serangkaian panjang penyalinan cetakbiru aksara 15 . Alfabet
Yunani begitu berbeda dengan sistem aksara lain karena ia sistem pertama yang
memisahkan konsonan dengan vokal sedemikian sehingga setiap satu bentuk suara
hanya diwakili satu tanda, berbeda dengan sistem-sistem sebelumnya, seperti
silabari 16 atau logograf 17 , yang masih memberi tanda hanya pada satu kata atau satu
suku kata. Hal ini begitu penting sehingga dikatakan oleh Eric Havelock dalam
Origins of Western Literacy 18 bahwa transformasi teramat penting yang nyaris total
terhadap kata dari suara ke penglihatan inilah yang memberi budaya Yunani
keunggulan intelektual atas budaya-budaya kuno lainnya. Alfabet Yunani memecah
Sifat suatu masyarakat yang lebih mengutamakan kebanggaan kelompok atau suku (tribe) ketimbang
individu.
15 Disebut “penyalinan” oleh Diamond, karena aksara tidak mudah untuk ‘diciptakan’ sendiri oleh
suatu masyarakat. Sekali aksara tercipta oleh suatu peradaban, maka ia akan terdifusi dan menyebar
ke peradaban lainnya, dan aksara yang berkembang kemudian adalah hasil modifikasi dari ataupun
sekadar ‘terinspirasi’ oleh aksara yang sudah ada sebelumnya.
16 Aksara yang tiap simbolnya merujuk pada suku kata (syllable)
17 Aksara yang tiap simbolnya berdasarkan pada satu ide/logo spesifik.
18 Dirujuk oleh Ong dalam [1]
14
22