Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 23

pun mencoba menanyakan hal yang lebih bersifat kedirian dengan mengatakan “Apakah anda puas dengan diri Anda atau apakah Anda ingin berubah?”, yang dijawab dengan “Akan menyenangkan jika saya punya lebih banyak tanah dan bisa menanam gandum.” Luria pun menambahkan “Apa kekurangan-kekurangan Anda?”, yang dijawab dengan “Yah, orang kan berbeda-beda- ada yang tenang, pemarah, atau kadang-kadang ingatannya payah...”, atau “Kami berperilaku baik— kalau kami orang jahat, tidak akan ada yang menghargai kami.” Penelitian Luria di atas menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat lisan cenderung situasional dan kontekstual. Hal ini pun membuat segala pengetahuan selalu kembali ke personal, sehingga membuat pertarungan ego dalam masyarakat literasi lebih langsung dan spontan. Sedangkan, di masyarakat literasi, antara yang diketahui dan yang mengetahui terpisah. Pola tribalitas 14 , kecendrungan untuk secara subyektif melihat kelompok, juga terlihat jelas. Individualitas tidak dikenal dalam masyarakat lisan, karena setiap diri adalah bagian dari suatu hal yang lebih besar. “Aku” hanyalah konsep yang muncul kemudian hari, ketika subyek bercerai dengan obyek. Apa sesungguhnya yang kemudian membuat semua pola pikir lisan yang dijelaskan di atas berubah total? Dan kapan? Hal ini sesungguhnya masih berada di wilayah perdebatan. Perjalanan berkembangnya sistem aksara bukanlah perjalanan singkat, karena menciptakan suatu sistem tanda yang bisa mewakili suara yang diucap oleh suatu masyarakat bukanlah hal yang mudah. Perubahan radikal akan sistem aksara terjadi ketika terciptanya alfabet di Yunani pertama kali sebagai turunan dari aksara Ibrani. Diamond mengatakan bahwa alfabet Romawi (Yunani) merupakan produk akhir serangkaian panjang penyalinan cetakbiru aksara 15 . Alfabet Yunani begitu berbeda dengan sistem aksara lain karena ia sistem pertama yang memisahkan konsonan dengan vokal sedemikian sehingga setiap satu bentuk suara hanya diwakili satu tanda, berbeda dengan sistem-sistem sebelumnya, seperti silabari 16 atau logograf 17 , yang masih memberi tanda hanya pada satu kata atau satu suku kata. Hal ini begitu penting sehingga dikatakan oleh Eric Havelock dalam Origins of Western Literacy 18 bahwa transformasi teramat penting yang nyaris total terhadap kata dari suara ke penglihatan inilah yang memberi budaya Yunani keunggulan intelektual atas budaya-budaya kuno lainnya. Alfabet Yunani memecah                                                              Sifat suatu masyarakat yang lebih mengutamakan kebanggaan kelompok atau suku (tribe) ketimbang individu. 15 Disebut “penyalinan” oleh Diamond, karena aksara tidak mudah untuk ‘diciptakan’ sendiri oleh suatu masyarakat. Sekali aksara tercipta oleh suatu peradaban, maka ia akan terdifusi dan menyebar ke peradaban lainnya, dan aksara yang berkembang kemudian adalah hasil modifikasi dari ataupun sekadar ‘terinspirasi’ oleh aksara yang sudah ada sebelumnya. 16 Aksara yang tiap simbolnya merujuk pada suku kata (syllable) 17 Aksara yang tiap simbolnya berdasarkan pada satu ide/logo spesifik. 18 Dirujuk oleh Ong dalam [1] 14 22