Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 21

bagaimana dampaknya secara menyeluruh dalam kehidupan manusia mungkin perlu dilakukan. Bagi kita yang sudah sejak kecil berinteraksi dengan aksara, mungkin membayangkan masa ketika aksara belum ada sama sekali dalam kehidupan manusia bukan hal yang mudah, mengingat pada dasarnya, aksara itu sendiri mentransformasi struktur pikiran manusia hingga bisa berubah total ketimbang manusia dengan tradisi lisan. Lahirnya literasi sesungguhnya sukar untuk ditetapkan titik tepatnya. Aksara pertama yang ditemukan arkologis adalah aksara paku (cuneiform 8 ) dari Mesopotamia yang berumur sekitar 6000 tahun silam. Akan tetapi, penggun aan aksara pada masa itu masihlah sangat terbatas. Kebutuhan akan aksara yang ada pada saat itu hanyalah untuk keperluan pengelolaan struktur sosial, seperti pengaturan hukum dan transaksi ekonomi. Hal ini pun membuat aksara di awal mula hidupnya masihlah berada dalam restriksi otoritas. Jared Diamond dalam [4], menjelaskan bahwa “tulisan awal dibuat demi memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik itu, dan para penggunanya adalah birokrat purnawaktu yang melahap simpanan makanan berlebih hasil budidaya para petani yang memproduksi makanan.” Hal ini membuat penggunaan aksara tidaklah seperti apa yang kita bayangkan, dimana setiap individu dapat menulis dan membaca, sehingga lahirnya aksara pada dasarnya tidak bisa disebut sebagai lahirnya literasi. Tradisi lisan dengan demikian masih menempel erat dalam kehidupan manusia hingga beratus tahun setelah ditemukannya aksara pertama kali. Ini juga membuat batas antara literasi dan kelisanan sesungguhnya cukup sukar untuk ditelisik. Kapan sesungguhnya literasi terjadi, dan seberapa besar dampak literasi merupakan misteri yang cukup besar, hingga kemudian Walter J. Ong, seorang professor sastra inggris, cukup mampu mengungkapkannya dalam [1]. Ia mengatakan sulitnya melihat batas ini adalah karena di zaman sekarang ini, mencari masyarakat yang murni lisan 9 sangatlah sulit. Identifikasi tradisi lisan bisa dilihat dari ciri paling utamanya, yakni basis indra yang digunakan. Tradisi lisan sangat berpusat pada pendengaran, sangat kontras dengan literasi yang berpusat pada penglihatan. Suara, hadir secara unik dalam bingkai waktu. Informasi yang keluar dari suara hanya bisa didengar saat itu juga, tepat saat itu. Saat seseorang berkata “Literasi”, maka ketika orang tersebut mencapai suku kata “-te-“, maka “Li-“ sudah lenyap, dan demikian seterusnya. Ditambah lagi, telinga, sensor suara, bersifat memusatkan dan mengumpulkan, tidak stereotip seperti mata. Ketika                                                              Aksara berbentuk paku (latin: cuneus) yang dipahat di lempengan tanah liat. Aksara paku awalnya masih berupa piktogram, meski kemudian sempat berkembang menjadi silabari yang mampu membedakan beberapa konsonan. 9 tidak tersentuh aksara sedikit pun. Akan dijelaskan kemudian bahwa literasi mengubah cara berpikir seseorang, sehingga adanya masyarakat yang masih terbiasa dengan tradisi lisan namun telah terpapar oleh tulisan tidak bisa disebut sebagai masyarakat lisan murni. 8 20