bagaimana dampaknya secara menyeluruh dalam kehidupan manusia mungkin
perlu dilakukan. Bagi kita yang sudah sejak kecil berinteraksi dengan aksara,
mungkin membayangkan masa ketika aksara belum ada sama sekali dalam
kehidupan manusia bukan hal yang mudah, mengingat pada dasarnya, aksara itu
sendiri mentransformasi struktur pikiran manusia hingga bisa berubah total
ketimbang manusia dengan tradisi lisan.
Lahirnya literasi sesungguhnya sukar untuk ditetapkan titik tepatnya. Aksara
pertama yang ditemukan arkologis adalah aksara paku (cuneiform 8 ) dari Mesopotamia
yang berumur sekitar 6000 tahun silam. Akan tetapi, penggun aan aksara pada masa
itu masihlah sangat terbatas. Kebutuhan akan aksara yang ada pada saat itu hanyalah
untuk keperluan pengelolaan struktur sosial, seperti pengaturan hukum dan
transaksi ekonomi. Hal ini pun membuat aksara di awal mula hidupnya masihlah
berada dalam restriksi otoritas. Jared Diamond dalam [4], menjelaskan bahwa “tulisan
awal dibuat demi memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik itu, dan para
penggunanya adalah birokrat purnawaktu yang melahap simpanan makanan
berlebih hasil budidaya para petani yang memproduksi makanan.” Hal ini membuat
penggunaan aksara tidaklah seperti apa yang kita bayangkan, dimana setiap individu
dapat menulis dan membaca, sehingga lahirnya aksara pada dasarnya tidak bisa
disebut sebagai lahirnya literasi.
Tradisi lisan dengan demikian masih menempel erat dalam kehidupan manusia
hingga beratus tahun setelah ditemukannya aksara pertama kali. Ini juga membuat
batas antara literasi dan kelisanan sesungguhnya cukup sukar untuk ditelisik. Kapan
sesungguhnya literasi terjadi, dan seberapa besar dampak literasi merupakan misteri
yang cukup besar, hingga kemudian Walter J. Ong, seorang professor sastra inggris,
cukup mampu mengungkapkannya dalam [1]. Ia mengatakan sulitnya melihat batas
ini adalah karena di zaman sekarang ini, mencari masyarakat yang murni lisan 9
sangatlah sulit. Identifikasi tradisi lisan bisa dilihat dari ciri paling utamanya, yakni
basis indra yang digunakan.
Tradisi lisan sangat berpusat pada pendengaran, sangat kontras dengan literasi
yang berpusat pada penglihatan. Suara, hadir secara unik dalam bingkai waktu.
Informasi yang keluar dari suara hanya bisa didengar saat itu juga, tepat saat itu. Saat
seseorang berkata “Literasi”, maka ketika orang tersebut mencapai suku kata “-te-“,
maka “Li-“ sudah lenyap, dan demikian seterusnya. Ditambah lagi, telinga, sensor
suara, bersifat memusatkan dan mengumpulkan, tidak stereotip seperti mata. Ketika
Aksara berbentuk paku (latin: cuneus) yang dipahat di lempengan tanah liat. Aksara paku awalnya
masih berupa piktogram, meski kemudian sempat berkembang menjadi silabari yang mampu
membedakan beberapa konsonan.
9 tidak tersentuh aksara sedikit pun. Akan dijelaskan kemudian bahwa literasi mengubah cara berpikir
seseorang, sehingga adanya masyarakat yang masih terbiasa dengan tradisi lisan namun telah terpapar
oleh tulisan tidak bisa disebut sebagai masyarakat lisan murni.
8
20