pendidikan terasing dengan budaya baca-tulis, penulis terkikis oleh tuntutan pasar
ketimbang jujur terhadap ide dan pemikiran, dan masih banyak lagi. Masyarakat pun
lebih banyak yang aliterasi 3 ketimbang literasi secara epsitemik 4 , literasi utuh yang
menubuh bersama keseharian, bukan sekadar bisa baca papan pengumuman pinggir
jalan belaka. Sayangnya, tren aliterasi ini tidak hanya menjangkit masyarakat
menengah kebawah, namun juga masyarakat kelas atas dengan kesibukan
kantorannya yang terasing dengan kebiasaan membaca selain laporan proyek
ataupun setumpuk administrasi. Perlu diketahui, berdasarkan laporan UNESCO
tahun 2016 5 , literacy rate 6 Indonesia mencapai 95.38% dan seharusnya sampai tahun
ini telah meningkat. Cukup paradoks jika dilihat sekilas, namun memang
kenyataannya literasi tidak lah serta merta mencerminkan kemajuan begitu saja,
apalagi jika pengukurnya hanyalah melek aksara.
Mengingat fenomena yang kita hadapi ini terjadi setelah kejayaan literasi, akan
tetapi ia berbeda dari literasi, maka mungkin cukup pantas kita menyebutnya pasca-
literasi atau pos-literasi 7 . Fenomena ini seperti mendapampingi posmodernisme
dalam kebaharuan yang mengoreksi modernisme. Dalam hal ini, literasi dan
modernisme mungkin tidak bisa disejajarkan, namun bila ditinjau lebih detail
bagaimana dua komponen ini mendampingi sejarah, bisa jadi ia merupakan hal yang
setara. Penyebutan kata pasca- atau pos- disini mungkin bisa memberi dampak
kontroversial sebagaimana istilah posmodernisme mengalami polemik makna.
Adanya prefiks pasca- membuatnya seakan berbeda total dari literasi yang
sesungguhnya, sedangkan fenomena ini sendiri belum bisa kita pahami dengan baik.
Seandainya literasi itu tidak hilang sepenuhnya, namun mentransformasi diri ke
wujud yang berbeda, mungkin akan lebih tepat jika menyebut wujud baru itu sebagai
neo-literasi. Akan tetapi, kita lupakan dahulu polemik istilah, mari kita coba pahami
apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
Meninjau kembali Kelisanan
Sebelum melihat ke masa yang akan datang, atau masa yang akan kita hadapi,
peninjauan kembali bagaimana literasi hadir dalam peradaban manusia, dan
keadaan dimana seseorang mampu membaca, namun tidak tetarik untuk melakukannya
Istilah literasi epistemik diambil dari 4 tingkatan literasi yang dikembangkan oleh Gordon Wells
dalam [15], yakni performative, functional, informational, dan epistemic. Literasi epistemik merupakan
tingkatan terakhir kemampuan literasi dimana kemampuan itu melebur bersama kehidupan sehari-
hari.
5 Dapat dilihat langsung di pusat data UNESCO (data.uis.unesco.org)
6 Standar pengukuran tingkat literasi suatu negara yang dihitung dari banyaknya masyarakat berumur
15 tahun ke atas yang mampu mmembaca dan menulis.
7 Pos- merupakan translasi langsung dari post- yang berarti ‘setelah -‘, dan sinonim dengan ‘pasca-‘.
Istilah pos-literasi digunakan untuk mendeskripsikan keadaan ‘setelah’ literasi, namun berbeda dari
literasi.
3
4
19