Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 12

dengan psikologi manusia tersebut . Informasi kemudian disajikan ulang dengan cara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan . Tiga utilitas utama ini , penyimpanan , pengloahan , dan penyajian ulang informasi , menjadikan teknologi digital dapat masuk hingga ke celah-celah kecil kehidupan manusia . Informasi sudah terolah sedemikian rupa sehingga apa lagi yang perlu dilakukan manusia selain menggunakannya ?
Aplikasi-aplikasi gadget bermunculan dalam perlombaan untuk menyajikan informasi terolah paling dibutuhkan manusia , informasi apapun itu . Dari informasi kontrakan , tempat wisata , tas model terbaru , film yang akan tayang , hingga tempat pijat terdekat semua tersajikan sedemikian rupa . Pengalaman kita terangkum sedemikian rupa dalam bit-bit digital yang kemudian bisa membuat google maps memberi tahu kapan kita harus pulang kerja dan kapan tidak , membuat tokopedia tahu komoditas apa yang akan membuat kita tergiur untuk mengonsumsinya , membuat facebook tahu apa saja yang senang kita bagikan atau lihat dalam linimasa . Dalam beberapa kasus , semua pengembangan aplikasi digital memang memberi manfaat yang cukup dan sesuai dengan porsi dan tujuan pembuatannya , namun ketika masuk ke wilayah publik , apapun bisa digunakan secara berlebihan , menciptakan efek yang sukar dikontrol 9 . Google sendiri , perusahaan yang leading dalam teknologi digital , memiliki lebih dari 30 aplikasi android dengan kegunaan berbeda-beda , mulai dari google keep yang membantu manajemen agenda , hingga google arts and culture yang merangkum informasi tentang seni dan budaya di seluruh dunia .
Ketika teks sudah hadir apa adanya , menyesuaikan dengan pembaca , maka apa yang tersisa dalam proses membaca hanyalah ‘ membaca ’ itu sendiri , hanyalah penyerapan informasi begitu saja tanpa ada proses apapun yang menyertainya , tanpa ada penjarakan kritis , refleksi internal , komparasi holistik , hingga analisis mendalam terhadap teks itu sendiri . Membaca apapun , pada masa pra-digital , baik membaca peta , membaca buku harian , ataupun membaca petunjuk penggunaan perangkat , membutuhkan proses pembacaan analitis terhadap teks , karena informasi yang tercantum dalam teks bukanlah informasi yang sudah masak , namun butuh pengolahan lebih lanjut . Terlebih lagi , karena pragmatisme yang berkembang dari hal tersebut , masyarakat terbiasa dengan informasi-informasi singkat ketimbang menyeleruh dan mendalam . Pemanjaan oleh media sosial ataupun portal berita daring yang cenderung memberikan informasi tidak lebih dari 200 kata dan terkadang hanya memfokuskan informasi pada judul dan paragraf awal , ataupun foto yang terkadang juga tidak representatif , membuat masyarakat mudah puas dengan ‘ pengetahuan ’ singkat , alias ‘ cukup tahu ’.
9 Begitu banyak fenomena terjadi , baik di Indonesia maupun secara global , yang menandakan kebingungan kita terhadap efek dari era digital .
11