Dalam wilayah penulisan, lengkapnya informasi yang tersimpan di internet
membuat pengembangan gagasan dan pikiran kritis untuk dituangkan dalam bentuk
karya penulisan menjadi semakin nihil. Tulisan-tulisan yang muncul di internet
didominasi oleh pengungkapan ekspresi pribadi di media sosial ataupun satir-satir
kecil di beberapa portal penulisan. Selain itu, berkembangnya hiperteks di era digital
membuat teks aksara bukanlah penyaji informasi yang utama, namun lebih sering
hanya sekadar menjadi petunjuk atau informasi tambahan. Informasi yang utama
lebih sering tersaji melalui video dan gambar, mengingat begitu mudah dipersepsikan
tanpa ada perlu pembacaan detail yang terfokus dan terpilah-pilah.
Semua fenomena ini, ditambah berbagai perubahan aspek psikologis dan sosial
yang muncul di masyarakat, membuat era digital membutuhkan kemampuan ‘literasi
baru’ yang bisa memodifikasi kebutuhan untuk berinteraksi secara kritis terhadap
teks menjadi suatu kemampuan praktikal yang bisa dipersiapkan kepada anak-anak
baru melalui pendidikan. Literasi yang dibutuhkan pada dasarnya tetaplah literasi
yang sama dengan dengan literasi yang kita ketahui, namun penyesuaian pada era
digital menghasilkan pendetailan lebih lanjut dari baca-tulis kritis ala literasi klasik.
Pendetailan kemampuan literasi di era digital ini telah dikembangkan beberapa
pihak melalui beberapa teori. Salah satu yang penulis adaptasi di sini adalah sebuah
framework yang dipublikasikan Mozilla bernama web literacy 10 . Literasi web di sini
tentu bisa dimaknai secara luas sebagai literasi digital atau literasi 4.0 dalam konteks
tulisan ini. Konsep yang mereka bangun membagi literasi menjadi 3 komponen, yakni
menjelajah (explore), membangun (build), dan partisipasi (participate). Exploring sendiri
merupakan perluasan dari kemampuan membaca dan building merupakan perluasan
dari kemampuan menulis. Mengapa partisipasi di sini menjadi komponen tambahan
dalam konsep literasi adalah karena interkoneksi adalah jantung dari sistem digital
sekarang. Keterhubungan global tanpa batas antara manusia membutuhkan
kemampuan partisipatif yang baik karena manusia sendiri dalam era digital
merupakan ‘teks’ tempat kita berinteraksi, meskipun ‘teks manusia’ yang dimaksud
di sini adalah versi maya-nya, dimana manusia menampilkan dan menghadirkan diri
melalui media sosial, foto dan video yang ia unggah, dan informasi yang ia bagikan.
Setiap komponen mengandung sub-komponen yang didetailkan berdasarkan
kemampuan praktikal yang kiranya memang dibutuhkan dalam era digital. Menulis
dalam era digital misalnya, tidak hanya sekedar menghasilkan sebuah karya tulis
(compose), namun juga 4 kemampuan lainnya, yakni design, code, revise, dan remix. Hal
ini jelas karena konten informasi di era digital tidak hanya bisa tersaji dalam bentuk
Proyek pengembangan framework ini diinisiasi pada 2013 dalam bentuk literasi untuk pengelolaan
web secara khusus. Namun, tahun lalu Mozilla mengembangkan framework ini dalam bentuk yang
lebih general sehingga mengakomodasi literasi untuk segala infrastruktur digital, yang kemudian
mereka namakan web literacy 2.0 [5].
10
12