Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 13

Dalam wilayah penulisan, lengkapnya informasi yang tersimpan di internet membuat pengembangan gagasan dan pikiran kritis untuk dituangkan dalam bentuk karya penulisan menjadi semakin nihil. Tulisan-tulisan yang muncul di internet didominasi oleh pengungkapan ekspresi pribadi di media sosial ataupun satir-satir kecil di beberapa portal penulisan. Selain itu, berkembangnya hiperteks di era digital membuat teks aksara bukanlah penyaji informasi yang utama, namun lebih sering hanya sekadar menjadi petunjuk atau informasi tambahan. Informasi yang utama lebih sering tersaji melalui video dan gambar, mengingat begitu mudah dipersepsikan tanpa ada perlu pembacaan detail yang terfokus dan terpilah-pilah. Semua fenomena ini, ditambah berbagai perubahan aspek psikologis dan sosial yang muncul di masyarakat, membuat era digital membutuhkan kemampuan ‘literasi baru’ yang bisa memodifikasi kebutuhan untuk berinteraksi secara kritis terhadap teks menjadi suatu kemampuan praktikal yang bisa dipersiapkan kepada anak-anak baru melalui pendidikan. Literasi yang dibutuhkan pada dasarnya tetaplah literasi yang sama dengan dengan literasi yang kita ketahui, namun penyesuaian pada era digital menghasilkan pendetailan lebih lanjut dari baca-tulis kritis ala literasi klasik. Pendetailan kemampuan literasi di era digital ini telah dikembangkan beberapa pihak melalui beberapa teori. Salah satu yang penulis adaptasi di sini adalah sebuah framework yang dipublikasikan Mozilla bernama web literacy 10 . Literasi web di sini tentu bisa dimaknai secara luas sebagai literasi digital atau literasi 4.0 dalam konteks tulisan ini. Konsep yang mereka bangun membagi literasi menjadi 3 komponen, yakni menjelajah (explore), membangun (build), dan partisipasi (participate). Exploring sendiri merupakan perluasan dari kemampuan membaca dan building merupakan perluasan dari kemampuan menulis. Mengapa partisipasi di sini menjadi komponen tambahan dalam konsep literasi adalah karena interkoneksi adalah jantung dari sistem digital sekarang. Keterhubungan global tanpa batas antara manusia membutuhkan kemampuan partisipatif yang baik karena manusia sendiri dalam era digital merupakan ‘teks’ tempat kita berinteraksi, meskipun ‘teks manusia’ yang dimaksud di sini adalah versi maya-nya, dimana manusia menampilkan dan menghadirkan diri melalui media sosial, foto dan video yang ia unggah, dan informasi yang ia bagikan. Setiap komponen mengandung sub-komponen yang didetailkan berdasarkan kemampuan praktikal yang kiranya memang dibutuhkan dalam era digital. Menulis dalam era digital misalnya, tidak hanya sekedar menghasilkan sebuah karya tulis (compose), namun juga 4 kemampuan lainnya, yakni design, code, revise, dan remix. Hal ini jelas karena konten informasi di era digital tidak hanya bisa tersaji dalam bentuk                                                              Proyek pengembangan framework ini diinisiasi pada 2013 dalam bentuk literasi untuk pengelolaan web secara khusus. Namun, tahun lalu Mozilla mengembangkan framework ini dalam bentuk yang lebih general sehingga mengakomodasi literasi untuk segala infrastruktur digital, yang kemudian mereka namakan web literacy 2.0 [5]. 10 12