Asatunews Magazine - edisi 02 Okt - Nov 2013 | Page 27

WISATA terlebih dahulu login dengan memasukan nomor telepon selular untuk dikirimkan kata kunci yang dapat mengakses sarana free wifi airport. Setelah pemeriksaan paspor di konter imigrasi, saya bergegas ke luar bandara, menuju hotel di pusat Kota Shanghai, yang terletak lebih-kurang 30 kilometer dari bandara. Sepanjang jalan menuju pusat kota terlihat bangunanbangunan modern. Lalu lintas jalan tol menuju pusat kota terasa lengang. Tidak terkesan saya sedang menuju ke kota terbesar di Cina, dengan penduduk sekitar 20 juta jiwa atau dua kali lipat lebih banyak dari populasi penduduk Kota Jakarta yang mencapai 10 juta jiwa. Bangunan apartement perkantoran, mal, dan hotel yang menjulang tinggi serta taman-taman yang indah dan lampu-lampu jalan yang terang gemerlap di sepanjang jalan membuktikan Shanghai sudah menjelma menjadi kota metropolitan yang bersih, modern, nyaman, dan manusiawi. Berbeda dengan dua puluh tahun lalu, yang dikenal sebagai kota terkumuh di dunia. Menikmati Shanghai di malam hari sungguh mengesankan. Seperti halnya kota-kota besar lain di seluruh dunia, Shanghai seakan tidak pernah tidur dan tetap ramai sepanjang 24 jam. Bangunanbangunan pencakar langit terus dibangun, seolah ingin mengalahkan bangunan tertinggi di dunia, Burj Tower di Dubai, Uni Emirat Arab. Saat saya mengunjungi Shanghai, sedang dibangun Shanghai Tower, yang rencananya akan mencapai tinggi 800 meter. Shanghai memang ingin menampilkan diri sebagai etalase kota termodern di dunia yang dimiliki dan menjadi kebanggaan nasional rakyat Cina. Suatu hal yang luar biasa dari Shanghai, kota terpadat di dunia dengan 20 juta penduduknya itu, adalah kebersihan dan kenyamanan kota. Ini mencerminkan kemajuan dan kemampuan negara Cina, yang mengalahkan negara mana pun, dalam mengelola kota terpadat dan tersibuk di dunia. Malam hari, saya habiskan dengan berjalan-jalan di Nanjing Road, salah satu pusat keramaian di Shanghai. Sama sekali tidak terlihat kesan ideologi komunis yang dianut negara Cina di sana. Ribuan orang tumpah-ruah memenuhi trotoar jalan yang sangat luas dan panjang, dari Nanjing East Road hingga ke Nanjing West Road. Suasana keramaian di Nanjing Road ini lebih mirip suasana Ginza Road di Tokyo atau Orchad Road di Singapura. FOTO-FOTO: ASN/IKE Di sepanjang jalan Nanjing Road terdapat ratusan mal dan toko, dengan berbagai produk merek terkenal atau merek dunia yang ditawarkan. Bagaimana dengan harganya? Jangan kaget, harga-harga di Nanjing Road atau di seluruh Shanghai jauh lebih mahal di bandingkan Jakarta, Singapura, atau Kuala Lumpur. Shanghai adalah kota di Cina yang biaya hidupnya termasuk paling mahal di dunia. Apalagi sejak nilai yuan atau reminbi mengalami apresiasi atau peningkatan tajam terhadap dolar Amerika Serikat selama dua tahun terakhir ini, belanja di Shanghai lebih mahal dibandingkan di Seoul, Kuala Lumpur, Jakarta, atau Singapura. Meski demikian, harga atau biaya hidup di Shanghai masih lebih murah dibandingkan dengan di Tokyo, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa. edisi 2/th. I | Okt - Nov 2013 ASN/Ike 27