WISATA
terlebih dahulu login dengan
memasukan nomor telepon selular
untuk dikirimkan kata kunci yang dapat
mengakses sarana free wifi airport.
Setelah pemeriksaan paspor di
konter imigrasi, saya bergegas ke luar
bandara, menuju hotel di pusat Kota
Shanghai, yang terletak lebih-kurang 30
kilometer dari bandara. Sepanjang jalan
menuju pusat kota terlihat bangunanbangunan modern.
Lalu lintas jalan tol menuju pusat
kota terasa lengang. Tidak terkesan
saya sedang menuju ke kota terbesar di
Cina, dengan penduduk sekitar 20 juta
jiwa atau dua kali lipat lebih banyak dari
populasi penduduk Kota Jakarta yang
mencapai 10 juta jiwa.
Bangunan apartement perkantoran,
mal, dan hotel yang menjulang tinggi
serta taman-taman yang indah dan
lampu-lampu jalan yang terang gemerlap
di sepanjang jalan membuktikan
Shanghai sudah menjelma menjadi
kota metropolitan yang bersih, modern,
nyaman, dan manusiawi. Berbeda dengan
dua puluh tahun lalu, yang dikenal
sebagai kota terkumuh di dunia.
Menikmati Shanghai di malam hari
sungguh mengesankan. Seperti halnya
kota-kota besar lain di seluruh dunia,
Shanghai seakan tidak pernah tidur dan
tetap ramai sepanjang 24 jam. Bangunanbangunan pencakar langit terus dibangun,
seolah ingin mengalahkan bangunan
tertinggi di dunia, Burj Tower di Dubai, Uni
Emirat Arab.
Saat saya mengunjungi
Shanghai, sedang dibangun Shanghai
Tower, yang rencananya akan
mencapai tinggi 800 meter. Shanghai
memang ingin menampilkan diri
sebagai etalase kota termodern di
dunia yang dimiliki dan menjadi
kebanggaan nasional rakyat Cina.
Suatu hal yang luar biasa dari
Shanghai, kota terpadat di dunia
dengan 20 juta penduduknya itu,
adalah kebersihan dan kenyamanan
kota. Ini mencerminkan kemajuan
dan kemampuan negara Cina, yang
mengalahkan negara mana pun,
dalam mengelola kota terpadat dan
tersibuk di dunia.
Malam hari, saya habiskan
dengan berjalan-jalan di Nanjing
Road, salah satu pusat keramaian di
Shanghai. Sama sekali tidak terlihat
kesan ideologi komunis yang dianut
negara Cina di sana.
Ribuan orang tumpah-ruah
memenuhi trotoar jalan yang sangat
luas dan panjang, dari Nanjing East
Road hingga ke Nanjing West Road.
Suasana keramaian di Nanjing Road ini
lebih mirip suasana Ginza Road di Tokyo
atau Orchad Road di Singapura.
FOTO-FOTO: ASN/IKE
Di sepanjang jalan Nanjing Road
terdapat ratusan mal dan toko, dengan
berbagai produk merek terkenal
atau merek dunia yang ditawarkan.
Bagaimana dengan harganya?
Jangan kaget, harga-harga di Nanjing
Road atau di seluruh Shanghai jauh
lebih mahal di bandingkan Jakarta,
Singapura, atau Kuala Lumpur.
Shanghai adalah kota di Cina
yang biaya hidupnya termasuk paling
mahal di dunia. Apalagi sejak nilai
yuan atau reminbi mengalami apresiasi
atau peningkatan tajam terhadap
dolar Amerika Serikat selama dua
tahun terakhir ini, belanja di Shanghai
lebih mahal dibandingkan di Seoul,
Kuala Lumpur, Jakarta, atau Singapura.
Meski demikian, harga atau biaya
hidup di Shanghai masih lebih murah
dibandingkan dengan di Tokyo, Amerika
Serikat, Australia, dan Eropa.
edisi 2/th. I | Okt - Nov 2013
ASN/Ike
27