Otak Wonwoo mencoba memproses bagian-bagian cerita sahabatnya itu, dan ketika berhasil,
ia bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana bisa harpa tua itu bergerak sendiri dari halaman
belakang ke loteng, dalam jangka waktu (setidaknya) 5 menit, tanpa suara dan jejak.
Oh, sialan.
Ini hanya menyisakan satu kesimpulan.
Ada yang salah dengan rumah Mingyu.
“Kau bilang tadi, kau merasakan aura ada makhluk halus di sana,” Wonwoo menatap manik
mata Soonyoung yang terlihat khawatir. “Apa itu?”
Dia melihat temannya itu menelan ludah sebelum menjawab, “Aku masuk ke loteng, berniat
membawa harpa itu kembali. Tapi saat aku masuk, loteng itu tiba-tiba sangat dingin dan aku
menjadi amat was-was, seperti orang yang mau mencuri. Padahal kan, aku hanya ingin
mengembalikan benda itu.”
“Dan kau kabur setelahnya,” Wonwoo melanjutkan kata-kata Soonyoung, “Ke kamarku.”
Soonyoung mengangguk, meralat, “Kamar kita.”
“Kau mengatakan itu seolah-olah kita tidur bersama,” kata Wonwoo, pura-pura bergidik.
Soonyoung membelalakkan matanya kesal, “Tapi, itu kan memang kamar kita!”
“Bisa tidak, kau ganti istilahnya dengan apa pun kecuali kamar kita?” protes Wonwoo, “Itu
terdengar ambi—“
“Kok kalian ke sini tanpa mengajakku?”
Detik itu juga, Wonwoo dan Soonyoung seketika membungkam mulutnya, menoleh ke
belakang dan oh sialan, keduanya berjengit karena menemukan Mingyu berdiri di sana, entah
sejak kapan dan bagaimana caranya ia bisa tiba tanpa suara.
Ini menakutkan.
Tapi ketika Wonwoo mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Mingyu—kalau-kalau
wajahnya masih seseram tadi—sekarang ia melihat sepupunya itu kembali, seolah-olah yang
tadi mereka temui di rumah bukanlah Mingyu.
Soonyoung setengah mati menjawab, “Ka-kau, kapan sampainya?”
Mingyu mengerucutkan bibirnya. “Aku berlari ke sini dan kalian sedang asyik mengobrol.
Lihat kan, bahkan kalian tidak mendengar derap kakiku!” Laki-laki itu melipat tangannya di
dada, masih mengerucutkan bibirnya dan memprotes Wonwoo, “Kau juga tidak memban-
gunkanku!”