sana kala ia menjawab pertanyaan Wonwoo dengan sekadar, “Ya.”
Singkat, padat, dan jelas. Namun, jawaban itu sendiri belum mampu menghapus pertanyaan
yang bergelayutan di otak Wonwoo. Jadilah ia bertanya lagi, kali ini dengan pertanyaan—ke-
mungkinan—yang berbeda, “Kau sakit?”
Mingyu menggeleng, suaranya begitu pelan saat ia menjawab, “Tidak.”
Wonwoo mengerutkan keningnya, ini aneh. Mingyu yang Wonwoo kenal beberapa minggu
lalu, sangat amat cerewet dan tidak pernah menghabiskan sarapannya tanpa berceloteh. Dia
akan menceritakan semua unsur kehidupannya, berbagi pengalamannya atau cerita
teman-temannya. Meja makan tidak akan pernah berada dalam kesunyian jika ada
Mingyu—ralat untuk tidak pernah, karena sekarang meja ini benar-benar sunyi. Hanya
terdengar suara dentingan piring dan sendok. Juga kicauan burung yang anehnya terdengar
lirih, dan gemerisik pohon rimbun yang berisik dan jauh sekali dari kata menyenangkan
telinga.
Bagusnya, ia mengajak sahabatnya, Kwon Soonyoung, untuk datang bertandang ke rumah
baru sepupunya ini. Wonwoo pikir, ia akan menyesali keputusannya ini ketika ia mengingat
bagaimana cerewetnya Soonyoung jika disatukan dengan Mingyu yang sama berisiknya,
membayangkan 14 hari yang akan ia habiskan di sana pasti bakal sangat melelahkan untuk
mendengar semua celotehan nonsense kedua orang itu. Tapi sekarang, penyesalan itu dengan
cepat berubah menjadi sebuah keberuntungan. Lega sih, kalau Wonwoo boleh jujur, tapi ada
sesuatu di dalam dirinya yang juga risih akibat keberuntungan ini.
Tidak lama kemudian, sarapan mereka semua selesai. Ibu Mingyu dan ibu Wonwoo memu-
tuskan pergi ke pasar yang ada di dekat pusat kota, meninggalkan ketiga orang itu di rumah
bersama dengan anjing Mingyu yang sedari tadi terus-menerus menggonggong di luar. Kalau
kau bertanya-tanya di mana anggota keluarga yang lain, maka akan kujelaskan dengan
singkat: ayah Mingyu sudah meninggal saat ia berumur 5 tahun, kecelakaan mobil, katanya.
Ayah Wonwoo tidak tahu ada di mana, kedua orang tuanya sudah bercerai 5 tahun yang lalu,
dan Wonwoo menjadi saksi dari itu semua. Anak tunggal yang malang, begitu ia menjulukin-
ya dirinya sendiri setiap kali merasa stress (mengingatkan bahwa ya, ia memang sudah
malang nasibnya dari dulu).
Soonyoung sendiri, oh ayolah, keluarganya sangat harmonis. Ayah dan ibunya saling mencin-
tai satu sama lain, setidaknya itu kesan yang didapatkan Wonwoo ketika ia bertemu keduanya
dulu saat kenaikan kelas. Kakak Soonyoung, Seungyoun, menjadi atlet Taekwondo nasional.
Yeji, adiknya yang pertama, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas dengan
mengadakan pesta yang begitu meriah. Wonwoo diundang, dan ia sangat amat terhibur
dengan pertunjukan yang ditampilkan di sana. Perayaan itu lebih cocok disebut sebagai pasar
malam ketimbang ulang tahun. (Soonyoung sangat marah ketika Wonwoo mengungkapkan
pendapatnya ini, tapi ia diam-diam juga setuju). Adiknya yang terakhir, Dohyon, juga tidak
kalah bahagia dari ketiga kakaknya. Minggu lalu, Soonyoung bercerita adiknya itu baru saja
mendapatkan beasiswa ke Jepang, setelah berbulan-bulan mengincarnya. Keluarga Soon-