young seperti keluarga yang sangat ideal dijadikan panutan. Terlalu ideal hingga Wonwoo
terkadang iri karena ia tidak bisa merasakan idealisasi itu.
“Aku suka suasana rumahmu.” Celotehan Sooyoung kali ini menyasar tentang rumah sepupu-
nya itu. “Tenang, sejuk, jauh dari kota. Kujamin, pasti kau sangat nyaman tinggal disini. Oh
lihat, pohonmu saja penuh dengan burung! Itu pemandangan yang sangat jarang ada di kota!”
Ia menambahkan lagi dengan senyum sumringahnya.
Untuk yang terakhir, Wonwoo mendongakkan kepalanya, menengadah ke arah jendela yang
menampilkan pemandangan di luar. Di sana, sebuah pohon besar tumbuh dekat pagar rumah
Mingyu. Dan benar kata Soonyoung barusan, pohon itu dihinggapi oleh banyak burung
berwarna hitam sampai-sampai daunnya yang berwarna hijau pun, tidak terlihat sama sekali.
“Mereka suka hinggap di sana,” Mingyu menceletuk, ia membalikkan badannya supaya bisa
memandang pohon itu dengan jelas. “Ia rumahnya.”
“Apa kau tidak pernah mengusirnya?” tanya Wonwoo heran. Jumlah burung yang hinggap di
pohon itu terlalu banyak, bahkan Wonwoo ragu tinggi pohon yang yang terlihat bukanlah
tinggi yang sebenarnya. Bisa saja pohon itu kelihatan tinggi karena bumbungan burung-bu-
rung yang bertengger di sana?
Suara Mingyu terdengar tercekat saat ia menjawab, “Pernah, tapi ia rumah mereka. Jadi,
sekeras apa pun usahaku mengusir mereka, mereka akan kembali lagi.”
Dan dengan begitu, sarapan mereka berakhir dengan canggung.
***
Wonwoo sedang melipat jaketnya saat pintu kamarnya terbuka dan menampilkan sosok
sahabatnya, Soonyoung, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang susah untuk
dideskripsikan—ketakutan, bingung, dan panik.
“Ada apa?” Wonwoo bertanya sembari melangkah mendekat, tepat ketika Soonyoung mele-
takkan jari telunjuknya di mulut (isyarat menyuruh Wonwoo untuk diam), dan ditutupnya
pintu kamar itu sehingga sekarang, hanya mereka berdua yang bisa mendengar percakapan
ini.
5 detik, untuk Soonyoung mengontrol napasnya, kemudian barulah ia berbicara. “A-ada yang
aneh.”
Mata Soonyoung melebar saat mengatakan ini. Jelas sekali ia ketakutan. Oh baik, Soonyoung
memang penakut—bahkan melihat pintu yang tertutup sendiri saja ia bakal berteriak— tapi
ketakutan ini jelas sekali berbeda. Lebih mendesak. Ekstrem. Yang juga menjalar ke
Wonwoo. Ketika netra keduanya bertemu, Wonwoo tidak bisa menahan dirinya untuk mene-
lan ludahnya dengan gugup. Bulu kuduknya bergidik saat ia bertanya, “Apa yang kau lihat?”