albashiroh MAJALAH edisi 53 | Page 56

Foto Istimewa
56 CERPEN
kepada ibunda. Wanita itu tersenyum. Sebaliknya, Alef menekuk muka. Tak suka, kesal. Mengapa Afni tak main sendiri dengan teman-temannya? Selalu mengganggu saja.
“ Tapi, Bu. Alef mainnya jauh, di lapangan sana. Yang dekat sumur besar itu lho!. Alef mau main layang-layang. Kalo adik ikut, Alef takut kenapa-napa di saat Alef asyik nerbangin layang-layang!”
Ibu Alef diam, manggut-manggut. Mengerti maksud anak sulungnya.
“ Afni, ikut ibu aja ya. Ibu mau ke rumah bibi Ima. Di sana nanti Afni bisa main robot-robotan sama Iwan, anaknya bibi Ima, ya?”
“ Tapi, Bu …” Raut muka Afni cemberut. Kala badan mungil anak itu diangkat ibunya, seraya masih membujuk. Alef segera pergi. Dengan hati berbunga bahagia, anak itu pergi seraya membawa layangan. Setidaknya, minggu ini ia bebas dari adiknya. Berharap di hari-hari lain pun sama. Selamanya.
Canda tawa Alef dan teman-temannya menyemarakkan lapangan luas nan hijau. Gembira membungkus mereka. Bersamaan terbangnya layang-layang. Berjam-jam dilalui tanpa terasa.
“ Alef, Kau disuruh pulang sama ibumu. Ada hal buruk katanya!” Alef berpaling, mencari sumber suara. Ia dapati telah berdiri di belakangnya seorang lelaki. Kak Rizal. Tetangga samping rumah.“ Ada apa, Kak?”“ Nggak tahu, ibumu hanya menyuruh agar kau pulang sekarang!” Alef berdiri, menggulung cepat benang layangnya lalu bergegas pergi. ***
Ramai para warga mengerumuni rumah Alef. Ia tak tahu apa yang telah terjadi. Kabar seburuk apa hingga sampai terdengar tetangga. Alef mencoba masuk, berusaha keras meliak-liukkan tubuhnya di antara kerumunan warga. Sesak, pengap, memeras keringat. Begitu banyak orang memadati pintu luar rumah hingga ruang tamu. Tak menyerah, akhirnya anak itu tiba di ruang tamu. Tempat orang-orang berhenti untuk berebut masuk. Alef mendapati ayah dan ibunya berdiri berdekatan. Raut wajah mereka tak jauh berbeda. Sendu. Masih tampak bekas aliran air mata.
“ Ibu dan Ayah kenapa nangis?”