A
55
lef meringkuk di sudut kamarnya. Semakin erat membenamkan wajah seraya me-
meluk lutut. Merahnya mata tak mampu lagi mengungkapkan seberapa kalutnya
alef dalam kesedihan. Sesenggukan tak lekas reda, mengiang bersama nyanyian
malam. Bekas goresan menjulang tak juga sirna. Bersalah, penyesalan, kekecewaan,
yang takkan pernah dapat menepi. Tak semudah itu. Mau atau tidak, ia akan tetap dihan-
tui rasa tadi. Yang olehnya hingga tak henti mengucurkan air mata, meluap memenuhi
relung jiwa. Hanya dengan begini, ia akan kembali mengingat si anak kecil. Terlalu polos
untuk disakiti. Adik alef sendiri. Untuk sekian kali dipekat malam ini.
***
“Kamu ini tolol banget sih! Kakak minta air es, bukan air hangat!”
“Tapi, kak ...”
Byuurrr... segelas air hangat itu mengguyur wajah ketakutan anak kecil itu. Mem-
erahkan kulitnya. Karena panas yang menusuk pori, anak itu menjerit, menangis, men-
gipaskan tangan ke muka.
“Diam, kalo sampe kakak dimarahi ibu gara-gara ini, kamu tahu sendiri akibat-
nya!” anak itu menggeleng, menutupi mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan
sesenggukan. perlahan air bening masih menelusuri pipi merahnya.
Sang kakak pergi. Meninggalkan adiknya sendiri bersama luka perih. Di permu-
kaan wajah maupun hati. Ia tak peduli. Baginya, yang terpenting sekarang adalah mera-
ibkan dahaga. Sepenarikan gagang pintu kulkas membuatnya terdiam sejenak. Rupanya
ini yang terjadi hingga tak ia dapatkan segelas air es dari adiknya. Kulkas tak menyala.
Mati lampu. Salahkah ia tadi? Tidak. Lagi pula biasanya adik juga tak pernah becus men-
jalankan perintahnya. Sekali-kali memberinya pelajaran. Pikirnya.
Seorang wanita paruh baya tiba-tiba keluar dari kamar mandi. Tampak buih-buih
detergen melekat di telapak tangannya.
“Ibu kayaknya tadi dengar suara teriakan adikmu, ada apa Alef?”
“Ehh, nggak ada apa-apa, Bu.” Pias wajah Alef menyembunyikan apa yang sebe-
narnya terjadi.
“Ya sudah, lepas seragam sekolahmu! Makanlah, lalu tidur. Ibu akan istirahat
dulu sama adik di depan TV.” Ibu menghilang dari pandangan. Alef menghembuskan
nafas, kelegaan merayapi rongga dada. Dirinya tak tahu, sudah berapa kali berbohong.
Demi menyelamatkan diri dari cubitan jemari lentik ibunya.
Alef melangkah menuju kamar. Ingin menghempaskan segala penat sehabis se-
kolah di sana, dalam kenyamanan ranjang berkasur empuk.
“Alef, wajah adikmu ini kok panas? Kau tahu kenapa?” selangkah memasuki ka-
mar, suara ibu menghentikannya. Alef menoleh, memandang ibunya. Menggerakkan
kepala kekanan dan kiri.
“Alef nggak tahu, bu!”
***
Pagi hari, mentari kembali bersinar. Menerobos lekukkan dedaunan, ranting
dan cabang tumbuhan. Membiaskan warna di embun pagi yang hampir jatuh dari
ujung rumput. Awan cerah tanpa noda. Pagi yang indah.
“Bu, Alef main dulu, ya!”
“Ibu, Afni juga pengen ikut main sama kakak, ya?” Wajah riang adik Alef meminta