Di hadapan sang ayah, Muadz bersikap santun dalam ucap kata nan halus. Panjang lebar ia menjelaskan sosok Mush’ ab bin Umair dan dakwah lelaki itu. Ia juga membacakan surah al Fatihah, sehingga hati sang ayah pun tergetar mendengar ayat-ayat indah tersebut.
Pelan-pelan Muadz mengajak ayahnya untuk mengikuti cahaya Islam, namun lelaki tua itu berpendapat bahwa ia harus meminta isyarat dari sesembahannya. Maka, terjadilah diskusi rasionalitas di antara mereka tentang ketuhanan Manaf. Akan tetapi, Amr bin Jamuh lebih memilih egonya sendiri dan tetap menganggap bahwa Manaflah sesembahan yang dapat ia percayai. *** Mengajak sosok Amr bin Jamuh untuk ber-Islam bukanlah perkara mudah layaknya membalik telapak tangan. Anak-anaknya tahu persis bahwa hati lelaki itu mulai tertarik dengan Islam. Hanya saja, ia masih enggan untuk berpaling dari patung kayu yang disembahnya selama ini. Hatinya masih berat meninggalkannya begitu saja.
Tanpa sepengetahuan lelaki tua itu, dua orang bersahabat; Mu’ adz bin Amr dan Mu’ adz bin Jabal sepakat untuk mempermainkan berhala tersebut. Kala malam menjelang, mereka membuang patung kayu yang selama ini jadi sesembahan Amr bin Jamuh.
Tepat ketika pagi kembali, kemarahan lelaki itu meledak dengan nafas memburu.
“ Celakalah kalian! Siapa yang telah berani mencampakkan tuhan kita tadi malam?” Lelaki itu naik pitam dan berteriak lantang saat mendapati sesembahannya teronggok di lubang pembuangan kotoran manusia. Sudah dua malam lelaki itu kehilangan patung tersebut. Namun, setiap pagi tiba, ia selalu menemukannya di tempat menjijikkan.
Setiap ia menemukan sesembahannya, ia akan segera membersihkan dan meminyaki patung kayu itu dengan wewangian lalu meletakkannya ke tempat semula.
Meski dibalut amarah, Amr bin Jamuh tidak tahu siapa sebenarnya pelaku semua ini.
“ Jika kau benar-benar dapat memberikan kebaikan, pertahankanlah dirimu sendiri!” lelaki itu bersungut-sungut. Hatinya dipenuhi kemarahan yang meluap-luap. Ia lalu menggantungkan sebilah pedang di leher sesembahannya tersebut. Berharap patung yang selama ini ia sembah dapat membela diri.
Keesokan hari, betapa kagetnya lelaki itu ketika kembali mendapati Manaf-nya teronggok di tempat yang sama. Ironisnya, kali ini sesemba-
RIJALUNA 31 hannya terikat pada seonggok bangkai anjing yang membusuk. Bercampurlah rasa marah, kecewa dan ketidakpercayaannya di dada. Ia tak habis pikir, ini kali ketiga patung itu dibuang di lubang kotoran, namun patung yang selama ini ia sembah dan diagung-agungkan sebagai penangkal marabahaya dan pembawa keberuntungan hanya bisa diam saat dicampakkan. Bergolaklah kebimbangan tentang ketuhanan Manaf. Semakin ia pikirkan, semakin menggumpal pula keraguan.
Di tengah kebimbangannya, beberapa bangsawan Madinah yang telah menerima cahaya Islam menyadarkan Amr bin Jamuh tentang makna ketuhanan yang sebenarnya. Tuhan yang tak seperti ia sembah selama ini, bukan dari pahatan batu ataupun kayu. Tidak diam kaku membisu dan tidak beranak serta diperanakkan.
Maka dalam buncah keyakinan di sanubari, lelaki tua itu akhirnya mereguk manisnya Islam di hadapan Rasulullah. Ia mengucap dua kalimat syahadat, menempatkan diri di barisan orang-orang yang mendekap imannya dengan mantap.
***
Suatu ketika, perang Uhud meletus dan bergejolak begitu hebat. Orang-orang larut dalam euforia semangat juang demi menegakkan kalimat Tauhid. Begitu juga anak-anak Amr bin Jamuh. Ketika mentari menjinggakan pagi, mereka bersiap melaju ke medan perang dengan harapan syahid akan menjemput. Harum dalam darah-darah sebagai syuhada-syuhada sejati.
Dalam usia yang semakin senja, Amr bin Jamuh merasa iri dengan anak-anaknya. Maka ia bersikeras untuk ikut serta. Sebelumnya, ketika perang Badar meletus, ia tidak ikut serta dikarenakan Rasulullah Sawtidak mengizinkan. Namun di perang Uhud ini, anak-anaknya sudah sepakat untuk menghalangi sang ayah untuk ikut. Hal ini disebabkan usia dan kondisi fisik yang semakin renta. Ditambah kakinya yang pincang.
“ Duhai ayahanda, agama telah meringankan orang-orang sepertimu untuk tidak ikut berperang. Kenapa kau bersikeras membebani dirimu sendiri sedangkan Allah saja memaafkan?” ucap salah satu anaknya, berusaha meyakinkan.
Merasa tidak mendapat dukungan, Amr bin Jamuh menemui Rasulullah. Lelaki renta itu mengadukan permasalahannya.
“ Duhai Nabiyullah, anak-anakku melarangku ikut berperang. Mereka beralasan karena aku sudah renta dan pincang. Demi Allah, aku berharap dengan kepincanganku ini aku bisa menjejakkan kaki di surga.”