yang hidup telantar, yang yatim/piatu ditinggal
justru malah membanggakan kekayaan kita
orang tuanya, yang mengalami kesulitan rezeki,
bahkan kepada saudara-saudara dan tetangga di
lalu kita mengayomi mereka, melindungi mereka,
kampung yang hidupnya miskin dan fakir sempur-
bahkan mungkin mengambil mereka sebagai
na. Apabila mereka datang meminta bantuan
“anak-anak kita” dan memperlakukan mereka
sedikit pinjaman, kita jadi pongah bagai raja, lalu
seperti anak-anak kandung kita, mendidik dan
mengkhotbahi mereka berjam-berjam … membu-
membebaskan mereka dari peluang ketertin-
at mereka makin merasa rendah, terhina dan
dasan.
malu, dan pulang kecewa tanpa mendapat apaapa.
atau memberi makan di masa-masa kelaparan,
Mengingat satu cerita orang tua, tentang kebia-
saan di kampung zaman dahulu. Orang-orang tua
(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
mewariskan pesan, apabila ada pengemis yang
atau kepada orang miskin yang sangat fakir
datang, keluarga diminta selalu bergembira
menerima mereka, diminta untuk mengajaknya
masuk ke dalam rumah, memberinya makan ter-
Ayat ini juga dengan lantang bicara tentang mem-
lebih dahulu sampai kenyang, dan memberikan
beri makan di masa-masa kelaparan. Frasa “masa
hajat apa yang mereka minta, semampunya. Pa-
-masa kelaparan” menggambarkan situasi krisis
dahal, kita tentu tahu, kehidupan orang-orang tua
global yang meliputi sekelompok orang atau
dahulu jauh dari cukup, rumah pun tak jarang
masyarakat luas. Bukankah sesungguhnya saat ini
masih beratapkan daun rumbia. Sejatinya mereka
kita berada dalam aneka ragam krisis berkepan-
juga dirundung hidup dalam kekurangan. Namun
jangan yang menyebabkan masyarakat miskin
kita melihat, jiwanya … selalu merasa berada da-
makin banyak dan makin menderita?
lam keberlimpahan. Subhanallah ...
Penempuh jalan mendaki yang jadi sasaran bicara
ayat itu adalah mereka yang juga mengalami kondisi kelaparan. Ya, tentu saja, ketika ia memilih
Hanya dengan begitu
untuk membantu orang lain, sementara dirinya
kamu termasuk orang yang beriman
pun juga tengah merasakan kelaparan, pastilah
dan saling berpesan untuk bersabar dan berkasih
sebuah pilihan yang sulit – jalan yang sangat-
sayang.
sangat mendaki. Sekalipun memang sukar, akan
tetapi dengan jalan begitulah ruhani kita akan
tumbuh dalam keimanan.
Apatah lagi jika hidup kita serba berkecukupan.
Kalau kita mau menghisab diri, bisa jadi tanpa kita
sadari banyak sekali pembelanjaan dan pengeluaran hidup kita yang sebenarnya tergolong siasia, tak bernilai sama sekali disisi Allah SWT. Budaya hedonisme dan komsumtif telah merenggut
akal sehat kita. Tanpa punya rasa malu. Kita
al-Islam.my.id | Ed