Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 40
-Wiji
Unjuk rasa
mengenakan
topeng orang
hilang di
Jakarta.
M
TEMPO/DHEMAS REVIYANTO
UGIYANTO le-
mas melihat ke
luar jendela lantai
dua Rumah Susun
Klender,
Jakarta Timur, yang ia kontrak bersama
tiga temannya. Aktivis ini melihat
enam pria menatap ke arah jendela dari bawah. Ia menyalakan lampu, lalu memadamkannya kemba-
li. Mugiyanto merasa tak nyaman.
Sebab, ketika masuk ke rumah, ia
mendapati lantai berantakan. Koran, buku, dan berbagai dokumen
berserakan.
Sebelum pulang pada Jumat sore,
13 Maret 1998, itu, Mugiyanto menelepon penghuni lain, Nezar Patria.
Ia menyampaikan akan membawa
pulang masakan Jepang, yang mereka anggap mewah ketika itu. Sesampai di rumah, Mugi heran tak
menemukan tiga rekannya: Nezar,
Aan Rusdianto, dan Petrus Bima
Anugerah. ”Saya heran, rumah kok
kosong,” kata Mugi, kini 39 tahun.
Mugiyanto yakin teman-temannya baru saja meninggalkan rumah.
Ia melihat segelas air jeruk yang masih hangat di atas meja. Ia lalu menghubungi operator penyeranta, menanyakan posisi Nezar. Tak ada balasan. Beberapa saat kemudian telepon rumah berdering, ternyata dari Margiyono, rekan mereka.
Mugi menanyakan keberadaan Nezar dan kawan-kawan, juga menceritakan kondisi rumah. ”Seketika itu juga saya menyuruh Mugi kabur,” ujar Margiyono.
Terlambat. Pintu digedor dari
luar. Mugi membuka pintu. Sepuluh pria merangsek ke dalam. Dua
orang mengenakan seragam loreng. Sisanya berpakaian sipil. Pria
tua berkopiah menggandeng Mugi—
belakangan sang aktivis mengenalinya sebagai ketua RT setempat—
mencoba menenangkan dan berpesan agar tak melawan. Mereka
membawa Mugi dengan mobil Mitsubishi L300 ke markas Komando
Rayon Militer Duren Sawit, Jakarta
Timur.
Di kursi sebelahnya, seorang pria
bertopi, berbadan kekar, dan tingginya sekitar 165 sentimeter juga diinterogasi di markas Koramil. Lelaki itu mengaku bernama Jaka, tinggal di dekat penjara Cipinang, Jakarta Timur. Dua pria berseragam tentara menginterogasi sambil menendang kaki Jaka. ”Lepaskan saya, Pak.
Saya cuma main di dekat rumahnya
Mugi,” kata Mugi, mengingat jawaban Jaka. Ketika itu, Mugi mengira
Jaka korban salah tangkap.
Setengah jam kemudian, polisi
Thukul:
Tim
Mawar-
militer membawa Mugi dan Jaka dengan mobil bak terbuka yang berbangku panjang. Mugi dan Jaka duduk saling membelakangi, masingmasing diapit dua polisi militer. Mereka dibawa ke markas Komando
Distrik Militer Jakarta Timur di Jatinegara. Tangan mereka diborgol.
Seorang pria berkulit putih, tegap,
dan mengenakan batik menyambut di markas. Ia berdiri di samping
sedan BMW bersama dua pria berpakaian tentara. ”Cepat, turunkan
mereka!” kata pria itu.
Perintah itu tak dituruti. Pengawalnya tetap duduk di atas mobil. Pria berbaju batik itu menghardik, ”Kalian menghormati saya tidak? Ayo, segera turunkan mereka!” Kali ini perintah itu dituruti. Setelah membuka borgol keduanya, pengawal membawa mereka
ke ruang tamu Kodim. Hanya lima
menit, mereka dibawa keluar lagi.
Ketika berjalan keluar, Jaka menggandeng Mugi seraya tersenyum,
”Mugi, kamu selamat. Kita pulang
ke rumahku.”
Mugi sempat bungah ketika diajak naik mobil BMW itu. Namun,
baru sepuluh detik duduk, ia disuruh keluar. Beberapa pria mengangkutnya ke mobil Toyota Kijang. Ia diperintahkan membuka baju untuk
menutup matanya. Mugi kembali lemas. Ia mendengar para pria yang
membawanya itu berbicara dengan
kata sandi, seperti elang, harimau,
dan rajawali.
Belakangan diketahui, Jaka yang
bersamanya itu ternyata Kapten
Djaka Budi Utama, personel Kopassus yang bersama 10 prajurit lainnya divonis bersalah menculik sembilan aktivis pada 1997-1998. Mugi
dibawa ke markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Ia disekap
di dalam sel, dipukuli, disetrum,
sambil diinterogasi tentang keterlibatannya dalam Partai Rakyat Demokratik.
-- MOBIL Toyota Kijang berhenti di
perlintasan kereta api kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Seorang pemuda mengenakan kaus berkerah
dengan kumis dan jenggot yang
1 APRIL 2012 |
| 77
77