menurut Cosmas Batubara, adalah
pendidikan warga negara makin
meningkat pesat, makin berkembang.
Sebab pada masa itu pendidikan
menjadi prioritas dengan pendirian
SD Inpres, SMP, SMA dan universitas
di setiap kabupatan. “Sehingga
pada waktu itu, menghasilkan
orang-orang yang terdidik dan kritis.
Perkembangan tersebut melahirkan
generasi yang tidak mengalami masa
kesulitan sebelum 1960-an. Sehingga
berkembang generasi yang berbicara
mengenai kebebasan. Lahir manusia
kritis yang bebas mengungkapkan
pendapat,” ujar Cosmas.
Era Reformasi adalah fase
perkembangan Indonesia yang
sebenarnya
digerakkan
oleh
generasi yang tumbuh dan menikmati
pendidikan dan pelbagai sukses saat
Golkar berkuasa. Dengan pendidikan
yang cukup maju mereka tumbuh
menjadi generasi yang kritis yang
pada akhirnya ikut menggerakkan
perubahan ke arah demokratisasi—
hal yang hampir tidak mungkin terjadi
di masa Orde Baru. Perubahan yang
sebenarnya juga disebabkan oleh titik
jenuh kekuasaan Orde Baru.
Di era Reformasi setelah berubah
menjadi Partai Golkar, Golkar tidak
menjadi kekuatan oposisi. Sebaliknya,
menjadi partai yang ikut mendorong
proses demokratisasi yang tengah
berlangsung—setelah lebih dulu
mereformasi dirinya. “Secara politik
saya kira lebih baik sekarang
karena semuanya dilakukan secara
terbuka. Kita masih kagok dengan
menggunakan instrumen-instrumen
demokrasi ini. Tapi, pada jangka
panjangnya keadaan akan lebih
baik karena demokrasi
ini
lebih
cocok
dengan sifat bangsa
kita yang pluralistik.
Sehingga, pilihan jadi
banyak,” ujar Sarwono
Kusumaatmadja,
mantan petinggi Golkar
dan mantan Menteri
Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara kepada
Suara Golkar, Sabtu
(11/01) lalu.
Perubahan
yang
berlangsung cepat ini ditandai
sebagai masa transisi menuju
demokrasi dan kerap disesali sebagai
“demokrasi kebablasan”. Salah
satu akibatnya adalah munculnya
ketidakstabilan dalam pemerintahan
di masa-masa awal Reformasi. Saat
itu, masa pemerintahan tiga Presiden
(B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri) berlangsung
relatif singkat. Setelah itu barulah
bisa dipastikan jabatan presiden
selama satu atau dua periode (510 tahun)—masa yang relatif aman
untuk merancang dan merealisasikan
program pembangunan.
Di masa yang relatif singkat itu,
rencana program pembangunan
tidak bisa terealisasikan sepenuhnya,
akibat masa pemerintahan yang telah
habis. Belum lagi setiap presiden
mempunyai orientasi dan haluan
pembangunan yang belum tentu bisa
diteruskan oleh presiden penerusnya.
Setiap ada pergantian presiden,
berubah pula orientasi dan haluan
pembangunan.
Untuk menghindari perubahan
yang tidak berkesinambungan, Partai
Golkar membutuhkan stabilitas politik
dan keajekan program pembangunan,
sebagaimana pernah terjadi di
masa Orde Baru. Dalam rancangan
Visi Negara Kesejahteraan 2045
tampak orientasi pembangunan yang
berkesinambungan dalam jangka
panjang, ketika negara Indonesia
berusia 100 tahun. Tahap-tahap
pelaksanaan pembangunan disusun
berdasarkan target yang sudah
ditetapkan setiap periode—hal yang
dahulu dilakukan kabinet Soeharto
lewat Pembangunan Lima Tahun
(PELITA).
Dengan desain besar Visi Negara
Kesejahteraan 2