Suara Golkar edisi Januari 2013 | Page 13

menurut Cosmas Batubara, adalah pendidikan warga negara makin meningkat pesat, makin berkembang. Sebab pada masa itu pendidikan menjadi prioritas dengan pendirian SD Inpres, SMP, SMA dan universitas di setiap kabupatan. “Sehingga pada waktu itu, menghasilkan orang-orang yang terdidik dan kritis. Perkembangan tersebut melahirkan generasi yang tidak mengalami masa kesulitan sebelum 1960-an. Sehingga berkembang generasi yang berbicara mengenai kebebasan. Lahir manusia kritis yang bebas mengungkapkan pendapat,” ujar Cosmas. Era Reformasi adalah fase perkembangan Indonesia yang sebenarnya digerakkan oleh generasi yang tumbuh dan menikmati pendidikan dan pelbagai sukses saat Golkar berkuasa. Dengan pendidikan yang cukup maju mereka tumbuh menjadi generasi yang kritis yang pada akhirnya ikut menggerakkan perubahan ke arah demokratisasi— hal yang hampir tidak mungkin terjadi di masa Orde Baru. Perubahan yang sebenarnya juga disebabkan oleh titik jenuh kekuasaan Orde Baru. Di era Reformasi setelah berubah menjadi Partai Golkar, Golkar tidak menjadi kekuatan oposisi. Sebaliknya, menjadi partai yang ikut mendorong proses demokratisasi yang tengah berlangsung—setelah lebih dulu mereformasi dirinya. “Secara politik saya kira lebih baik sekarang karena semuanya dilakukan secara terbuka. Kita masih kagok dengan menggunakan instrumen-instrumen demokrasi ini. Tapi, pada jangka panjangnya keadaan akan lebih baik karena demokrasi ini lebih cocok dengan sifat bangsa kita yang pluralistik. Sehingga, pilihan jadi banyak,” ujar Sarwono Kusumaatmadja, mantan petinggi Golkar dan mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara kepada Suara Golkar, Sabtu (11/01) lalu. Perubahan yang berlangsung cepat ini ditandai sebagai masa transisi menuju demokrasi dan kerap disesali sebagai “demokrasi kebablasan”. Salah satu akibatnya adalah munculnya ketidakstabilan dalam pemerintahan di masa-masa awal Reformasi. Saat itu, masa pemerintahan tiga Presiden (B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri) berlangsung relatif singkat. Setelah itu barulah bisa dipastikan jabatan presiden selama satu atau dua periode (510 tahun)—masa yang relatif aman untuk merancang dan merealisasikan program pembangunan. Di masa yang relatif singkat itu, rencana program pembangunan tidak bisa terealisasikan sepenuhnya, akibat masa pemerintahan yang telah habis. Belum lagi setiap presiden mempunyai orientasi dan haluan pembangunan yang belum tentu bisa diteruskan oleh presiden penerusnya. Setiap ada pergantian presiden, berubah pula orientasi dan haluan pembangunan. Untuk menghindari perubahan yang tidak berkesinambungan, Partai Golkar membutuhkan stabilitas politik dan keajekan program pembangunan, sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru. Dalam rancangan Visi Negara Kesejahteraan 2045 tampak orientasi pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang, ketika negara Indonesia berusia 100 tahun. Tahap-tahap pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan target yang sudah ditetapkan setiap periode—hal yang dahulu dilakukan kabinet Soeharto lewat Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dengan desain besar Visi Negara Kesejahteraan 2