soal sukanya ya... Terutama adalah
karena teman-temannya itu gaul,
asyik. Banyak juga yang pintar, punya
banyak prestasi, baik di akademik
maupun non-akademik. Tapi kalau
ngomong soal dukanya, kadang sih
suka sedih, ya. Ada banyak teman
yang tidak mau mengembangkan
talentanya, padahal mereka punya
potensi yang baik. Sayang banget sih,
mereka gak percaya diri dan malas
melatih diri, alhasil ya jadi kurang
baik. Terus kalau dilihat dari segi
guru disini. Buat saya sendiri sih,
semua guru disini rata-rata enak,
atau biasa saja. Guru yang kurang
enak? Menurut saya sih hampir tidak
ada.” Jawab anak yang punya hobi
berenang ini.
Untuk kedepannya, Yuan berharap
supaya sekolah kita bisa lebih maju
lagi dalam memperjuangkan Bhinneka
Tunggal Ika supaya makin adil dan
beradab. Lalu, untuk Indonesia, ia
berharap di masa yang akan datang,
tidak terjadi banyak konflik soal
perbedaan yang bertolak belakang
dengan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Terakhir, ia juga berharap agar semua
anak muda bisa menggunakan IT
dengan baik.
Kita ke jenjang yang lebih di bawah,
yaitu ke tingkat SD. “Bhinneka Tunggal
Ika” sudah pasti mulai dikenakan di
jenjang ini. Laurentia Ratna Prabandari,
siswi yang kini duduk di bangku
kelas 6 SD Notre Dame punya
pendapat bahwa semboyan kita harus
sudah diajarkan sedini mungkin.
“Menurut aku, anak-anak kecil sudah
harus dibiasakan hidup bersosialisasi
Bandari bersama keluarganya yang
memiliki harapan di Notre Dame
selalu kompak dalam pergaulan
dengan semua orang. Maksudnya,
kalau punya teman gak boleh beda-
bedain. Semua orang kan martabatnya
sama di depan Tuhan.”
Sejak 7 tahun sekolah di Notre
Dame, anak kedua dari bersaudara
ini belum pernah melihat adanya
pembeda-bedaan yang menyangkut
SARA di sekolah ini. “Selama ini, aku
sendiri belum lihat sih ada beda-bedain
SARA gitu. Semuanya baik-baik aja.
Seandainya ada pun, aku pasti
langsung lapor guru supaya bisa
ditindak lanjuti nantinya.”
Sama hal nya dengan Yuan, Bandari
juga punya pengalaman suka duka
di sekolah. Misalnya saja seperti
diejek, namun masih dalam tingkat
wajar. “Kadang-kadang juga aku
diejek teman-teman, ada ajalah ini
itu. Tapi ya, masih di tahapan wajar,
gak berlebihan banget. Aku tetap
senang kok sekolah disini, soalnya
teman-temannya itu banyak yang
seru.” Anak dari pasangan Fransiskus
Xaverius Sarijo Kromodimejo dan
Rekna Kristiani Rahayu ini berharap
selanjutnya, baik di negara ataupun
sekolah bisa lebih baik dan kompak
lagi, saling menghargai satu sama lain.
“Harapan aku sih, semoga di sekolah
kita semua bisa makin kompak, gak
ada pembeda-bedaan. Negara kita
juga supaya lebih damai, gak banyak
konflik. Harus lebih menghargai satu
sama lain juga. Gitu aja sih.”
Tidak hanya Yuan ataupun Bandari,
ada lagi Nicholas Brandon Chang
yang punya pendapat sama bahwa
perbedaan itu wajar dan malah
menyatukan. “Buat saya sendiri,
perbedaan itu bukan masalah.
Sama seperti ‘Bhinneka Tunggal
Ika’, malah harusnya itu mem-
buat kita jadi lebih dekat.”
“Bhinneka Tunggal Ika itu
sendiri juga sudah ditetapkan
di sekolah kok. Sekarang
buktinya, kita bisa berteman
dengan semua teman, tanpa
membeda-bedakan, kan?
Lagipula misalnya kita main
sama temen yang beda agama
misalnya, memangnya masalah?
Brandon yang memiliki
pendapat bahwa perbedaan
itu bukan masalah
Baik-baik aja kok. Belum tentu yang
seiman itu baik, bisa-bisa kadang
lebih buruk. “ Jawab anak kedua dari
tiga bersaudara ini saat ditanya contoh
langsung dari “Bhinneka Tunggal Ika”
itu sendiri.
Bila masalah geng, kakak dari Anastasia
Brenda Chang ini mengatakan, “Kalau
soal beda-bedain SARA di sekolah,
jadi seperti bentuk-bentuk geng,
saya sering lihat itu di TV. Untungnya,
6 tahun saya sekolah disini saya belum
pernah mengalami atau melihat hal
seperti itu. Itu jadi salah satu alasan
saya sekolah disini, semuanya bisa
berteman dengan baik, tanpa perlu
pembedaan. Selain itu, punya kurikulum
dan didikan yang baik, jadi murid-
murid jadi belajar menjadi sopan
juga, dan yang terakhir, Notre Dame
itu tidak memaksa semuanya untuk
jadi Katholik. Makanya kita bisa jadi
saling menghormati dan menghargai.”
“Ya namanya orang, pasti ada alamin
suka duka, lah, kalau hidup. Teman-
teman saya disini baik dan ramah,
gurunya juga bisa mengajar dengan
baik dan mudah dipahami. Dukanya sih,
kadang-kadang bisa ada permusuhan
yang terjadi. Saya harap ke depannya
semua bisa membaik. Orang-orang
jadi bisa lebih menerima perbedaan,
gak banyak yang rasis.” Begitu
ungkap anak berkelahiran 18 Maret
2005 ini mengenai suka duka sekolah
di Notre Dame dan juga harapan
untuk ke depannya.
Felicia Zein C. (8A)
Isabella Kimberly C. (8A)
Cornellia Stefany W. (8A)
Notre Dame | Januari-Maret 2017
15