ND Magazine 17 Majalah19 | Page 6

Dancing isn’ t all about hobby

Jacqueline( kedua dari kanan posisi duduk) bersama grup dancer dan pelatih
Tidak peduli dimana pun kita menempuh pendidikan, asal dengan tekad bulat, usaha penuh dan dibantu dengan kekuatan doa, kita pasti bisa menjadi bibit unggul yang berguna bagi bangsa dan negara. Jangan pernah takut bersusah-susah dahulu, karena akan bersenang-senang di kemudian hari, itulah yang selama ini diterapkan Jacqueline Carissa Que, salah satu dancer dari founders semasa SMA. Ia merupakan salah satu alumni SMP dan SMA Notre Dame yang lulus SMA pada tahun 2009.
Jacqueline memulai pendidikannya di sekolah kompleks dekat rumahnya yaitu di sekolah Carina Sayang tepatnya di Bojong. Jacqueline sekolah di sana pada jenjang PG, TK dan SD. Di sini juga ada pengalaman berkesan yang hingga kini masih tersimpan di otak, dan menjadi cikal bakal mengenai kecintaannya pada dance hingga kini.“ Karena sekolahnya kecil, dulu aku jadi deket sama kepala sekolahnya. Mungkin segala tentang tari- menari bermula dari sini. Setiap ada kenaikan kelas, semua anak cewek disuruh nari gitu dan banyak acara yang bernuansa seni itu.” kata Jacqueline sambil mengingat- ingat.
Jacqueline merasa bersyukur karena punya orang tua yang bisa mendukung hobinya, khususnya mamanya sendiri. Mamanya berpesan bahwa apabila di sekolahnya ini bakatnya bisa berkembang, mengapa tidak mencoba ke jenjang yang lebih luas dan apabila ternyata dance hanya hobi sementara, mereka akan mencoba menggali lebih lanjut. Akhirnya pilihan sekolah untuk ke jenjang selanjutnya jatuh ke SMP Notre Dame, dengan alasan jaraknya yang dekat dengan rumah dan juga mutunya baik. Selain itu, menurut Jacqueline pribadi guru- guru di Notre Dame termasuk open minded maksudnya, tidak monoton dan mau belajar mengikuti perkembangan zaman.
Jacqueline yang kini berusia 26 tahun merasa bahagia karena merasa hobinya didukung oleh lingkungan. Ia punya kesan yang istimewa terhadap Pak Herman( guru
SBK). Menurutnya, cara mengajar Pak Herman sangat seru, tidak pernah membosankan, rasanya selalu ada inovasi baru sehingga murid- murid jadi semangat.“ Pak Herman itu orangnya suka mencari bakat, misalnya anak- anak diminta ikut lomba nyanyi dan itu jadi tantangan sendiri buat aku. Jadi selalu tertantang dan rasanya gak pernah bosan, mungkin karena hobiku juga ke arah sana sih ya...” begitu sahut Jacqueline dengan semangat.
Menurutnya, semua guru di unit SMP punya kesan tersendiri, menurutnya semua orang punya ciri khas masing- masing dan ada kenangan. Misalnya ada Bu Chris yang dulu setia mendampinginya lomba ke sekolah- sekolah lain, lalu Bu Win yang dulu mengajar Bahasa Indonesia, menurut Jacqueline adalah guru yang peduli kedisiplinan, selalu mengingkatkan muridnya apabila ada peraturan yang tidak dipatuhi.
Ada satu hal yang Jacqueline sangat ingat, yaitu cerita dia bisa masuk tim dance yang diperlukan audisi.“ Aku inget banget nih, dulu aku masuk sekolah, cuma sendirian dan gak punya temen. Nah, karena masih mau ngembangin bakat, aku ikutan audisi tim dance sekolah. Aku inget banget pas dikasih tau nya, bukan minggu depan tapi besok, udah harus bawa CD sendiri- sendiri dan temanya, bikin koreografi sendiri dan harus tampil besok. Nah tapi, karena saat itu juga aku lagi bawa CD, aku langsung tampil saat itu juga. Seminggu atau dua minggu kemudian dikasih pengumuman kalo aku berhasil masuk tim dan cuma berdua, aku sama Clarissa. Tim dance saat itu terdiri dari aku, Denita, Asti, sama Echi. Awalnya juga sempet kaget bahkan mau mundur karena kelihatannya kakak kelasnya agak galak jadi ya agak takut. Tapi ya akhirnya, tetep maju, ikut audisi dan kepilih.” cerita Jacqueline dengan senang.
Jika dibandingkan dengan keadaan sekolah sekarang, ikut ekskul tidak perlu lagi dengan audisi. Guna dari audisi itu sendiri sebenarnya agar peserta dari cabang itu tidak terlalu banyak dan bisa dilatih lebih intensif lagi. Baginya, sebenarnya ada kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan audisi ini sendiri.“ Kalau dulu pakai audisi, sisi positifnya misalnya perlu tim buat lomba dance dan harus cepat- cepat ketemu orang energetik, ingatannya bagus dan tarikan dance nya lumayan oke, atau bisa dilatih. Jadi bisa ketemu orang dengan potensi oke dalam waktu cukup singkat. Nah kalo sekarang tanpa audisi, orang jadi punya kesempatan lebih banyak buat belajar lagi.”
Di jenjang SMA ada, Miss Julia yang sangat berkesan bagi dirinya.“ Kalo di SMA, ada lagi sih guru yang unik, itu si Miss Julia, jujur aja dulu suka kesel sama dia. Inget banget deh dulu, roknya katanya kependekan, eh malah digunting jadi makin pendek, cuma ya sebenarnya orangnya baik dan tegas sih.” Jacqueline juga menambahkan,“ Tapi kalo guru begitu, jangan disebelin deh, soalnya ada memori tersendiri, jadi pas nanti bisa teringat lagi, jadi tertawa lagi.”
Lalu, Bu Anas juga guru yang bisa dibilang berkesan bagi Jacqueline, karena dia sebenarnya tidak suka pelajaran matematika dan dia bisa jadi suka karenanya. Caranya mengajar juga sangat nyaman.“ Dulu, kalo mau pelajaran masuk ke otak, aku tuh harus duduk paling depan, karena sebenarnya dulu mataku minus dan gak mau pakai kacamata jadi ya gitu. Sebenarnya sih, aku pribadi juga gak bisa jelasin kenapa suka diajarin Bu Anas, pokoknya bisa bikin aku jadi suka mat meskipun nilainya ya ga bagus amat sih.” tawa perempuan yang lahir di tanggal 6 Februari 1991 ini.
Jacqueline mengaku bahwa sudah sangat lama dirinya tidak datang ke tempat ia menimba ilmu ini,“ Aku udah lama banget gak ke sini sejak kuliah semester ketiga, ini baru datang lagi. Dulu datang pas lagi ada bazaar dan ada sempet main bola sama guru- guru SMA juga.” Ia juga bilang, sekilas sebenarnya tidak banyak perubahan yang terjadi di sekolah ini, mungkin hanya beberapa ruangan yang penataannya berubah. Sekolah tampak lebih lega sekarang, mungkin karena efek dulu masih dalam proses pembangunan tahap awal.
6 Notre Dame | Juli-September 2017