MINA BAHARI Edisi II - 2017 | Page 85

USAHA & INVESTASI 83 model sawah, setelah dilakukan pembajakan, kemudian dilakukan pemadatan dan langsung diisi air untuk dijemur nantinya,” terang Jumari.
Hasilnya, pada tahun pertama, nelayan Bajo bahkan mampu menggunakan panen pertambakan garam sendiri untuk menggarami ikan-ikan tangkapannya sehingga mereka tidak perlu lagi mendatangkan garam dari sentra produksi garam di Sumbawa bagian Timur. Selanjutnya melihat hasil para petambak Desa Bajo ini, pada tahun kedua bertambah lagi masyarakat yang berminat menjadi petambak garam. Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, Dedi dan Jumari dapat memfasilitasi satu kelompok petambak garam lagi.
Produksi Berlebih
Pada awalnya, Dedi mengaku kebingungan untuk menjual garam-garam ini karena jaringan pasar di Sumbawa sangat terbatas. Apalagi pasar garam di Sumbawa hanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga saja. Sementara jumlah garam konsumsi ini sudah mencukupi konsumsi masyarakat Sumbawa dan cenderung berlebih.
Pada 2012, produksi garam di Sumbawa mencapai 6.118 ton. Surplus 4 ribu ton garam sementara itu tidak ada industri di Sumbawa yang bisa menjadi target pasar.
Hingga pada akhirnya, pihaknya mencoba memperkenalkan produk tambak garam Desa Bajo ini ke Kimia Farma. Dedi tentu menyadari bahwa tidak mudah memenuhi standar Kimia Farma. Hanya saja melihat kualitas garam petambak garam Desa Bajo ini, tak ada salahnya untuk dicoba.
Apalagi sejak 2015, dengan adanya bantuan geomembran dari KKP, kualitas garam petambak garam di Desa Bajo ini terus meningkat. Garam yang dihasilkan menjadi lebih bersih dan putih. Hasilnya, pihak Kimia Farma justru menambah permintaan garam dan bahkan datang sendiri ke lokasi produksi garam.
“ Mulanya mereka tidak percaya kalau itu hasil garam produksi masyarakat. Karena begitu putih dan butirannya besar,” ungkap Dedi. Jika dibandingkan dengan garam impor, kualitasnya tak jauh beda. Sehingga permintaan ulang terus datang.“ Sampai akhirnya mereka datang sendiri saat itu, mengambil sampel, dan menurut mereka ini masuk dalam standarisasi mereka untuk kebutuhan mereka industri makan dan bisa ditingkatkan untuk industri farmasi.”
Sejak itu, cukup banyak nelayan Desa Bajo yang sebelumnya menjadi konsumen justru berbalik menjadi produsen garam. Mereka rupanya mulai tergiur dengan keuntungan yang mereka terima dibanding dengan pendapatan dari menangkap ikan yang saat itu cenderung tak stabil.
Apalagi akibat kelangkaan garam saat ini, harga garam bisa mencapai Rp4 ribu / kg. Di mana biasanya harga garam petambak garam bekisar Rp250 – Rp500 kg. Jumari yang awalnya diupah sebagai pengajar sekaligus petambak garam, saat ini ia sudah mampu membeli 2 hektar tanah yang awalnya ia kontrak. Ia bahkan berniat membeli mobil untuk memudahkannya mendistribusikan garam produksinya.
Saat ini kelompok didikan Jumari mampu menghasilkan 3 – 4 ton per panen per geomambran berukuran 4 meter x 40 meter. Saat ini Kepala Desa bahkan meminta Jumari, Dedi, dan Pemda untuk
Humas KKP / Roro Kartika
MINA BAHARI | Agustus 2017