Media Informasi Kemaritiman Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013 | Page 52

INFO 52 Kaisha dan Akatsuki Butai, dengan demikian maka seluruh aset dan semua kapalnya di Tanjung Perak menjadi milik S.P.I. Rachmat Sumengkar kala itu dianggap paling berpengalaman sehingga S.P.I. memilihnya menjadi Komandan Pertama Kapal Akatsuki Butai yang mereka ganti namanya menjadi M.S. Krakatau, kapal dengan bobot 150 ton itu satu-satunya kapal patroli yang siap berlayar. September dan Oktober 1945 ia mendapat tugas untuk berpatroli di Selat Madura bersama perwira dek andalannya: Mualim S. Sutopo, Mualim Soemantri, Mualim Gerad Frederik dengan perwira mesin Soekimin yang bertugas untuk menggagalkan pendaratan pesawat sekutu “Catalina” di Tanjung Perak dan sekaligus memeriksa kemungkinan adanya pasukan Belanda membonceng Pasukan Sekutu dalam hal ini Inggris. Berbagai peristiwa sejarah yang berlumuran darah pejuang negeri ini tidak kuasa ia ceritakan tanpa berurai air mata. Pertempuran demi pertempuran tidak mungkin dihindarinya lagi, diantaranya peristiwa bersejarah 10 November 1945 yang berawal pada 25 Oktober 1945 konvoi kapal sekutu yang dipimpin oleh Frigate HMS Meveney dengan mengangkut Brigade ke-49 tiba di Tanjung Perak dan Ujung Surabaya di bawah pimpinan Brigadier A.W.S. Mallaby. Setelah batalyon 6/5 Mahrattas dan Batalion 5/6 Rajputana mendarat di Tj. Perak dan mulai bergerak masuk kota, kemudian menduduki dan mengambil alih seenaknya bangunanbangunan serta fasilitas lainnya milik RI, maka konflik fisik antara mereka dengan TKR dan rakyat Surabaya tidak bisa dihindari lagi. Melihat situasi buruk ini M.S. Krakatau pada tanggal 27 Oktober 1945 segera ia larikan ke Gresik. Pertempuran pun meletus dan di luar perkiraan sekutu pada tanggal 28 Oktober 1945, seluruh Brigade Mallaby dalam keadaan terpecahpecah di beberapa tempat. Mereka telah di kepung oleh TKR, laskar dan rakyat pejuang, sehingga mereka seluruhnya pasti binasa, jika tidak ditolong oleh Presiden Soekarno bersama Jendral Christison, Panglima Sekutu untuk Asia Tenggara. 29 Oktober 1945 keduanya terbang ke Surabaya untuk menyelamatkan seluruh Brigade Mallaby dengan mengumumkan gencatan senjata di Surabaya yang diberitakan hari itu juga melalui ”Radio Pemberontak Surabaya”. Hari itulah pertama kali ia bersama anak buahnya menempati pertahanan TKR/ Pemberontak Rakyat di Sektor Pertahanan Jembatan Merah. Bertepatan dengan terbunuhnya Brigjen Mallaby secara misterius yang terjadi di depan gedung Internatio dalam jarak 50 meter dari Jembatan Merah. Ini terjadi justru setelah diumumkannya gencatan senjata, sehingga membuat murka pihak sekutu (Inggris). Mereka bertekad memberikan hukuman keras kepada Rakyat Indonesia, khususnya Surabaya. Seluruh cadangan kekuatan Darat, Laut dan Udara yang berada di bawah Allied Shouth East Asia Command” diperintahkan untuk segera menuju Surabaya, dan kekuatan gabungan ini merupakan konsentrasi daya tempur yang dahsyat dengan anggotanya yang telah berpengalaman dalam PD-II yang kedatangannya diperkirakan sebelum 10 November 1945. Ultimatum Tentara Sekutu yang meminta TRI dan rakyat Surabaya menyerah dengan batas waktu hingga 9 November 1945 saat matahari terbenam, namun TRI dan Rakyat Surabaya tidak mau mengikuti kemauan Sekutu, mereka lebih memilih bertempur hingga tetes darah terakhir. Kini peristiwa itu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pengalaman telah mengasahnya menjadi orang yang tak kenal takut dan mencambuknya untuk tidak berhenti belajar, serta jeli melihat peluang. Bahkan ia pernah menyelam tanpa alat bantu di danau Grati yang konon dikenal paling angker hanya untuk berburu senjata dan amunisi kapal Jepang atau Belanda yang karam. Demi mendapatkan senjata untuk menambah kekuatan pasukannya. Suatu hari saat sedang mandi beramai-ramai di sungai, Rachmat Sumengkar yang dijuluki orang pintar karena selalu mujur itu, melih at dari kejauhan musuh datang semakin mendekat, maka spontan ia memerintahkan pasukannya lari ke hutan dengan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun, tanpa alas kaki masuk ke dalam hutan bersama rekan sesama pasukan, mereka lebih memilih mengamankan senjata